GEOGRAFI LINGKUNGAN DAN SUMBERDAYA
Minggu, 21 Oktober 2012
makalah geografi lingkungan dan sumberdaya
A. EKOSISTEM
Pengertian Ekosistem
Ekosistem adalah suatu sistem ekologi yang terdiri atas komponen-komponen yang saling berintegrasi sehingga membentuk suatu kesatuan (Asdak,2001).
Ekosistem : tatanan unsur lingkungan hidup yang merupakan kesatuan utuh menyeluruh dan saling mempengaruhi dalam bentuk keseimbangan, stabilitas dan produktivitas lingkungan hidup (UULHPasal1ayat4).
Ekosistem adalah suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik tak terpisahkan antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Ekosistem bisa dikatakan juga suatu tatanan kesatuan secara utuh dan menyeluruh antara segenap unsur lingkungan hidup yang saling memengaruhi.
Ekosistem merupakan penggabungan dari setiap unit biosistem yang melibatkan interaksi timbal balik antara organisme dan lingkungan fisik sehingga aliran energi menuju kepada suatu struktur biotik tertentu dan terjadi suatu siklus materi antara organisme dan anorganisme. Matahari sebagai sumber dari semua energi yang ada.
Komponen Ekosistem
Komponen-komponen pembentuk ekosistem adalah:
Abiotik
Abiotik atau komponen tak hidup adalah komponen fisik dan kimia yang merupakan medium atau substrat tempat berlangsungnya kehidupan, atau lingkungan tempat hidup. Sebagian besar komponen abiotik bervariasi dalam ruang dan waktunya. Komponen abiotik dapat berupa bahan organik, senyawa anorganik, dan faktor yang memengaruhi distribusi organisme, yaitu:
Suhu.
Proses biologi dipengaruhi suhu. Mamalia dan unggas membutuhkan energi untuk meregulasi temperatur dalam tubuhnya.
Air.
Ketersediaan air memengaruhi distribusi organisme. Organisme di gurun beradaptasi terhadap ketersediaan air di gurun.
Garam.
Konsentrasi garam memengaruhi kesetimbangan air dalam organisme melalui osmosis. Beberapa organisme terestrial beradaptasi dengan lingkungan dengan kandungan garam tinggi.
Cahaya matahari.
Intensitas dan kualitas cahaya memengaruhi proses fotosintesis. Air dapat menyerap cahaya sehingga pada lingkungan air, fotosintesis terjadi di sekitar permukaan yang terjangkau cahaya matahari. Di gurun, intensitas cahaya yang besar membuat peningkatan suhu sehingga hewan dan tumbuhan tertekan.
Tanah dan batu.
Beberapa karakteristik tanah yang meliputi struktur fisik, pH, dan komposisi mineral membatasi penyebaran organisme berdasarkan pada kandungan sumber makanannya di tanah.
Iklim.
Iklim adalah kondisi cuaca dalam jangka waktu lama dalam suatu area. Iklim makro meliputi iklim global, regional dan lokal. Iklim mikro meliputi iklim dalam suatu daerah yang dihuni komunitas tertentu.
Biotik
Biotik adalah istilah yang biasanya digunakan untuk menyebut sesuatu yang hidup (organisme). Komponen biotik adalah suatu komponen yang menyusun suatu ekosistem selain komponen abiotik (tidak bernyawa). Berdasarkan peran dan fungsinya, makhluk hidup dibedakan menjadi tiga macam, yaitu:
Heterotrof / Konsumen
Komponen heterotrof terdiri dari organisme yang memanfaatkan bahan-bahan organik yang disediakan oleh organisme lain sebagai makanannya . Komponen heterotrof disebut juga konsumen makro (fagotrof) karena makanan yang dimakan berukuran lebih kecil. Yang tergolong heterotrof adalah manusia, hewan, jamur, dan mikroba.
Pengurai / dekomposer
Pengurai atau dekomposer adalah organisme yang menguraikan bahan organik yang berasal dari organisme mati. Pengurai disebut juga konsumen makro (sapotrof) karena makanan yang dimakan berukuran lebih besar. Organisme pengurai menyerap sebagian hasil penguraian tersebut dan melepaskan bahan-bahan yang sederhana yang dapat digunakan kembali oleh produsen. Yang tergolong pengurai adalah bakteri dan jamur. Ada pula pengurai yang disebut detritivor, yaitu hewan pengurai yang memakan sisa-sisa bahan organik, contohnya adalah kutu kayu. Tipe dekomposisi ada tiga, yaitu:
aerobik : oksigen adalah penerima elektron / oksidan
anaerobik : oksigen tidak terlibat. Bahan organik sebagai penerima elektron /oksidan
fermentasi : anaerobik namun bahan organik yang teroksidasi juga sebagai penerima elektron. komponen tersebut berada pada suatu tempat dan berinteraksi membentuk suatu kesatuan ekosistem yang teratur. Misalnya, pada suatu ekosistem akuarium, ekosistem ini terdiri dari ikan sebagai komponen heterotrof, tumbuhan air sebagai komponen autotrof, plankton yang terapung di air sebagai komponen pengurai, sedangkan yang termasuk komponen abiotik adalah air, pasir, batu, mineral dan oksigen yang terlarut dalam air.
Sabtu, 20 Oktober 2012
PERKEMBANGAN FILSAFAT TERHADAP KURIKULUM IPS
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ilmu Pengetahuan Sosial merupakan mata pelajaran
yang bersumber dari kehidupan sosial masyarakat yang diseleksi menggunakan
konsep-konsep ilmu sosial yang digunakan untuk kepentingan pembelajaran.
Keadaan sosial masyarakat selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu,
dinamisasi kemajuan diberbagai bidang kehidupan harus dapat ditangkap dan
diperhatikan oleh lembaga pendidikan yang kemudian menjadi bahan materi
pembelajaran, sehingga bahan pelajaran secara formal dapat dituangkan dalam
bentuk kurikulum.
Kurikulum IPS yang dikembangkan hendaknya memiliki
landasan filosofis yang jelas, landasan filosofis yang digunakan haruslah melihat kondisi nyata yang terjadi di
masyarakat. Kondisi masyarakat yang terjadi saat ini adalah masyarakat yang senantiasa mengalami
perubahan-perubahan yang disebabkan adanya interaksi sosial baik antar individu
nmaupum kelompok. Dalam mencermati perubahan tersebut, maka kurikulum harus
memiliki landasan filosofis humanistik, dimana Ilmu Pengetahuan Sosial menjunjung tinggi sifat-sifat dasar
kemanusiaan.
Perkembangan istilah atau nama Social Studies
pertama kali dimasukan secara resmi
kedalam kurikulum sekolah Rugby di Inggris pada tahun 1827, Dr. Thomas Arnold direktur
sekolah tersebut adalah
orang pertama yang berjasa
memasukan Social Studies kedalam kurikulum sekolah. Latar belakang
dimasukannya social studies ke dalam kurikulum sekolah berangkat dari kondisi
masyarakat Inggris yang pada waktu itu tengah mengalami kekacauan akibat
Revolusi Industri yang melanda Negara itu.
(http://massofa.wordpress.com/2010/12/09/latar-belakang-lahirnya-ips-di-indonesia/(27
September 2011) diakses jam 20.28 wita.). Berbeda dengan fenomena di Amerika
Serikat pasca perang saudara antara utara
dan selatan atau dikenal perang budak (1861 – 1865) dimana dihapuskannya sistem
perbudakan dan dan tidak ada lagi rasialisme atau perbedaan warna kulit, orang
kulit putih dengan orang negro dan Indian bersatu sebagai penduduk baru di Amerika Serikat, serta menjadikan pluralistik – multi etnik, sehingga semakin
sulit pada awalnya membangun kebangsaan di Amerika Serikat dalam kondisi multi
etnik untuk menjadi suatu bangsa. Para pakar kemasyarakatan dan pendidikan
mencari pola baru untuk menjadikan sistem pendidikan yang menghormati
keberadaan multi – etnis di Amerika Serikat, salah satu cara yang ditempuh
adalah memasukan social studies kedalam
kurikulum sekolah di Negara bagian Wisconsin pada tahun 1892. Pada awal abad ke
– 20 sebuah Komite Nasional dari The National Education Association memberikan
rekomendasi tentang perlunya social studies dimasukan ke dalam kurikulum
sekolah dasar dan sekolah menengah di Amerika Serikat, adapun komponen formula
awal social studies ketika awal kelahirannya di Amerika Serikat terdiri dari
mata pelajaran sejarah, geografi dan civics (kewarganegaraan).
Social studies dalam istilah Indonesia
disebut Pendidikan IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial), dalam proses eksistensinya
terdapat dalam “The National Herbart Society papers of 1896 – 1897” menegaskan,
bahwa social studies sebagai delimiting the social sciences for pedagogical use
(upaya membatasi ilmu-ilmu sosial untuk kepentingan pedagogik / mendidik).
Dengan hadirnya social studies masuk
pada kurikulum di sekolah, ada juga di beberapa negara bagian di Amerika
Serikat dan di Inggris untuk mengembangkan program pendidikan ilmu-ilmu sosial
di tingkat sekolah. Pengertian ini juga dipakai sebagai dasar dalam dokumen
“Statement of the Chairman of Commite on Social Studies” yang dikeluarkan oleh
Comittee on Social Studies (CSS) tahun 1913. Dalam dokumen tersebut dinyatakan
bahwa social studies sebagai specific field to utilization of social sciences data as a force in the
improvement of human welfare (bidang khusus dalam pemanfaatan data ilmu-ilmu
sosial sebagai tenaga dalam memperbaiki kesejahteraan umat manusia). Upaya
untuk melestarikan program social studies dalam kurikulum sekolah, maka
beberapa pakar yang memiliki kepedulian terhadap pendidikan ilmu-ilmu sosial di
tingkat sekolah mengembangkan social studies bisa diaplikasikan di tingkat
sekolah dengan membentuk organisasi profesi social studies, akhirnya pada tahun
1921 berdirilah “National Council for the Social Studies “ atau disingkat (
NCSS ), sebuah organisasi professional yang
secara khusus membina dan mengembangkan social
studies pada tingkat pendidikan
dasar dan menengah, serta kaitannya dengan
disiplin ilmu – ilmu sosial dan disiplin ilmu pendidikan sebagai program
pendidikan syntectic. (http ://haslindafadillah,blogspot.com/2010/11/makalah-pendidikan-ips.html(27
Sept 2011) diakses jam 20.44.wita.)
B. Rumusan Masalah
Dengan latar belakang perkembangan
kehadiran Social Studies diatas dan memandang perlunya pendidikan IPS (Ilmu
Pengetahuan Sosial) bagi warga negara sebagai apresiasi dari Social studies
terus bertambah ke berbagai negara, terutama di Amerika Serikat, Inggris, dan
berbagai Negara Eropa, dan kemudian berkembang ke negara Australia dan Asia
termasuk Indonesia, maka muncul
pertanyaan mendasar dalam tulisan ini diantaranya : (1) Bagaimana perkembangan
Social Studies atau Pendidikan IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial) dalam kurikulum
pendidikan di Indonesia? dan (2) Landasan filosofis apa saja yang dipakai
di Indonesia sebagai konsep dasar pendidikan IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial)
dapat dijadikan konsep kurikulum di
tingkat jenjang persekolahan di Indonesia ?. Kedua permasalahan tersebut
menjadi dasar permasalahan dalam tulisan ini.
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan ini adalah untuk
memenuhi tugas mata kuliah Landasan Pendidikan IPS MIPS 505 Progam Studi
Magister Pendidikan IPS Program Pascasarjana Universitas Lambung Mangkurat
Banjarmasin yang dibina oleh Bapak Dr. Herry Porda Nugroho Putro, M.pd. Selain
itu tujuan penulisan ini adalah untuk mengenal, memahami dan mendalami hakekat
konsep, pengertian, dasar filosofis dan proses belajar – mengajar IPS, sehingga
akan bermanfaat ketika diaplikasikan
bertugas di lembaga pendidikan masing-masing.
BAB
II
PEMBAHASAN
PERKEMBANGAN
KURIKULUM DAN PENDIDIKAN IPS DI
INDONESIA
Perkembangan Social Studies Hingga Pendidikan IPS di
Indonesia Setelah berdirinya National Council for the Social Studies (NCSS)
pada tahun 1921 hanya bertugas sebagai organisasi yang idealnya memaksimalkan
hasil-hasil pendidikan bagi tujuan kewarganegaraan yang sudah dicapai oleh CSS
(Comitte on Social Studies ) tahun 1913 sebelumnya. Barulah pada tahun 1935
lahirlah kesepakatan yang dikeluarkan NCSS yang menegaskan “ Social Sciences as
the core of the curriculum “ atau kurikulum IPS bersumber dari ilmu-ilmu
sosial.
Perkembangan selanjutnya pengertian social studies
yang berpengaruh pada abad ke-20 adalah mengenai definisi social studies yang
dikemukakan oleh Edgar Wesley (1937) yang menyatakan “the social studies are
the social sciences simplified for pedagogical purposes”. Definisi tersebut
menjadi popular saat itu yang kemudian dijadikan definisi resmi mengenai social
studies oleh “the united states of education’s standard terminology for
curriculum and instruction” dengan demikian NCSS perlu membuat pekerjaan rumah
tentang definisi resmi pula yang menghantarkan Social Studies sebagai kajian
yang terintegrasi dan mencakup disiplin ilmu yang semakin luas, khususnya dalam
bidang pendidikan dikemudian hari. Dalam perjalanan sejarah Indonesia setelah
mencapai kemerdekaan pada tahun 1945, kurikulum pendidikan nasional telah
mengalami perubahan, misalnya pada tahun 1947 kurikulum pada saat itu diberi
nama Rentjana Pelajaran 1947. Kurikulum yang ada saat itu masih dipengaruhi
sistem pendidikan kolonial Belanda dan Jepang, sehingga hanya meneruskan yang
pernah digunakan sebelumnya. Rentjana Pelajaran 1947 boleh dikatakan sebagai
pengganti sistem pendidikan kolonial Belanda. Keadaan kehidupan berbangsa saat
itu masih dalam semangat juang mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia,
dapat dikatakan bahwa pendidikan di awal kemerdekaan haruslah membangun
semangat kebangsaan dan semangat patriotisme.
Konsep pendidikan yang essensial saat itu untuk SR
(Sekolah Rakyat) adalah membaca, menulis dan berhitung. Mata pelajaran ilmu
bumi diajarkan pada kelas 3, sejarah mulai diajarkan pada kelas 4, ilmu alam
baru diajarkan pada kelas 5 dan kelas 6. Mata pelajaran di SMP seperti bahasa,
ilmu pasti,pengetahuan alam, pengetahuan sosial, dan ekonomi. Siswa yang naik
kelas III dikelompokan, kelas III A (kelompok sosial dan ekonomi) dan kelas III
B (Kelompok Ilmu Pasti dan Pengetahuan Alam).
Tahun 1952 kurikulum di Indonesia diberi nama
Rentjana Pelajaran Terurai 1952, kurikulum ini penyempurnaan dari kurikulum
sebelumnya dan sudah mulai mengarah pada
suatu sistem pendidikan nasional. Kurikulum 1952 diarahkan pada setiap rencana
pelajaran harus memperhatikan isi pelajaran yang dihubungkan dengan kehidupan
sehari-hari.
Tahun 1964 pemerintah Orde Lama kembali
menyempurnakan kurikulum pendidikan di
Indonesia. Kurikulum tersebut dinamakan Rentjana Pendidikan 1964, pokok – pokok
pikiran dalam kurikulum tersebut bahwa pemerintah mempunyai keinginan agar
rakyat mendapatkan pengetahuan akademik untuk pembekalan pada jenjang Sekolah
Dasar, sehingga pembelajaran dipusatkan pada program Pancawardhana, yaitu
pengembangan moral, kecerdasan, emosional, artistik dan jasmani.
Kurikulum tahun 1968, merupakan
kurikulum pembaharuan dari kurikulum tahun 1964, yakni perubahan struktur
kurikulum pendidikan dari Pancawardhana menjadi pembinaan jiwa Pancasila,
pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Kurikulum 1968 merupakan perwujudan
dari perubahan orientasi pada pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
Kurikulum 1968 bertujuan bahwa pendidikan ditekankan pada upaya membentuk
manusia Pancasila sejati, kuat dan sehat jasmani, mempertinggi kecerdasan dan
keterampilan jasmani, moral, budi pekerti, dan keyakinan beragama.Seiring
dengan perkembangan masuknya istilah Social Studies ke dalam acuan kurikulum
pendidikan di Indonesia di awal tahun 1970 –an telah ditawarkan konsep istilah
tersebut. Pada pertemuan ilimiah dalam sebuah seminar Nasional Indonesia
tentang Civic Education tahun 1972 di Tawangmangu Solo Jawa Tengah, dalam
paparan seminar tersebut ditawarkanlah 3 (tiga) istilah untuk dimasukan dalam
pendidikan kewarganegaraan di Indonesia. Pertama; Istilah Pengetahuan sosial;
kedua, Studi Sosial (Social Studies) dan ketiga, Ilmu Pengetahuan Sosial.
1.
Aplikasi Pendidikan IPS dalam Kurikulum
1975 di Indonesia
Kurikulum 1975 adalah kurikulum pertama di Indonesia
yang dikembangkan berdasarkan proses dan prosedur yang didasarkan pada teori
pengembangan kurikulum. Meskipun demikian kurikulum 1975 masih dikembangkan
berdasarkan pemikiran orientasi filosofis pendidikan keilmuan yang dominan dan
tidak berorientasi kepada pembangunan, walaupun demikian tidaklah berarti
kurikulum 1975 telah melepaskan diri dari npengaruh politik . (S. Hamid Hasan :
2006) dimana situasi pemerintahan saat itu awal pemerintahan Orde Baru.
Pada tahun 1972 – 1973 sudah pernah dilakukan uji
coba pertama konsep IPS masuk dipersekolahan Indonesia diterapkan pada
kurikulum Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP) IKIP Bandung. Kemudian
secara resmi dalam kurikulum 1975 program pendidikan tentang masalah sosial
dipandang tidak cukup diajarkan melalui pelajaran sejarah dan geografi saja,
sehingga dilakukan reduksi mata pelajaran mulai tingkat Sekolah Dasar hingga
Sekolah Menengah Atas saat itu dimasukan mata pelajaran ilmu sosial serumpun
atau sejenis digabung ke dalam mata pelajaran IPS. Oleh karena itu pemberlakuan
istilah IPS (social studies) dalam kurikulum 1975 dapat dikatakan sebagai
kelahiran IPS secara resmi di Indonesia. Upaya memasukan materi ilmu-ilmu
sosial dan humaniora ke dalam kurikulum sekolah di Indonesia disajikan mata
pelajaran dan bidang studi atau jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) secara
resmi pada kurikulum 1975. Kurikulum tahun 1975 merupakan perwujudan dari perubahan
sosial pada pelaksanaan UUD 1945 secara mnurni dan konsekuen, bertujuan bahwa
pendidikan ditekankan pada upaya membentuk manusia Pancasila sejati, kuat,
sehat jasmani, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan jasmani, moral, budi
pekerti, dan keyakinan beragama.
Konsep Pendidikan IPS yang menginspirasi
kurikulum 1975 yang menampilkan 4 (empat) profil, pertama; Pendidikan Moral
Pancasila (PMP) menggantikan Kewarganegaraan sebagai bentuk pendidikan IPS
khusus; Kedua, Pendidikan IPS terpadu untuk SD; Ketiga, Pendidikan IPS terkonfederasi untuk SMP yang
menempatkan IPS sebagai konsep Payung sejarah, geografi dan ekonomi koperasi;
dan keempat , Pendidikan IPS
terpisah-pisah yang mencakup mata pelajaran sejarah, ekonomi dan geografi untuk
SMA, atau sejarah dan geografi untuk SPG, dan IPS (ekonomi dan sejarah) untuk
SMEA / SMK.
2.
Aplikasi Pendidikan IPS kurulum 1984 di
Indonesia
Konsep pendidikan IPS dalam pelaksanaan
kurikulum 1984 yang secara konseptual merupakan penyempurnaan dari kurikulum 1975, khususnya dalam
aktualisasi materi, masuknya konsep P-4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila) sebagai materi pokok PMP (Pendidikan Moral Pancasila). Pada
kurikulum 1984, PPkn merupakan mata pelajaran sosial khusus yang wajib diikuti
semua siswa di SD, SMP dan SMU. Sedangkan mata pelajaran IPS diwujudkan dalam
(1) Pendidikan IPS terpadu di SD kelas I s.d. VI; (2) Pendidikan IPS
terkonfederasi di SLTP yang mencakup geografi, sejarah, dan ekonomi koperasi;
(3) Pendidikan IPS terpisah di SMU yang meliputi Sejarah Nasional dan Sejarah
Umum di kelas I dan II; Ekonomi dan Geografi di kelas I dan II; Sejarah Budaya
di kelas III program IPS.
3.
Definisi Social Studies dari NCSS tahun 1993.
Sejalan dengan perkembangan kurikulum di Indonesia
dan perkembangan zaman di negara maju khususnya di Amerika Serikat dan negara –
Negara Eropa, serta berkembangnya
program pendidikan dan pengajaran Social Studies (pendidikan IPS) yang masuk
dalam kurikulum pendidikan nasional di negara-negara berkembang, termasuk di
Indonesia yang sedang menjalankan kurikulum 1984, maka pada tahun 1993 National
Council for the Social Studies (NCSS) mengeluarkan definisi resmi yang
membawa social studies sebagai kajian
yang terintegrasi dan mencakup ilmu yang
semakin luas.
NCSS (National Council for the Social
Studies) pada tahun 1993 merumuskan definisi Social Studies sebagai berikut :
“Studi
sosial adalah studi terintegrasi dari ilmu-ilmu sosial dan humaniora untuk
mempromosikan kompetensi sipil. Dalam
program sekolah, studi sosial menyediakan terkoordinasi, studi sistematis
menggambarkan atas disiplin ilmu seperti antropologi, arkeologi, ekonomi,
geografi, sejarah, hukum, filsafat, ilmu politik, psikologi, agama dan
sosiologi, serta konten yang sesuai dari humaniora, matematika , dan ilmu alam.
Tujuan utama dari ilmu sosial adalah untuk membantu kaum muda membuat informasi
dan keputusan beralasan untuk kepentingan publik sebagai warga masyarakat,
budaya beragam demokrasi di dunia yang saling bergantung.”
NCSS menekankan pentingnya pendidikan
bagi siswa yang berkomitmen untuk ide-ide dan nilai-nilai demokrasi, siswa akan
terlibat dalam proses intelektual yang aktif pada kehidupan di masyarakat.
Siswa sebagai warga masyarakat untuk menggunakan kemampuan pengetahuan mereka
dalam memecahkan masalah-masalah dalam kehidupan. NCSS memaparkan kurikulum
standar untuk studi sosial menyediakan kerangka kerja yang dimusyawarahkan
secara professional. NCSS pertamakali menerbitkan standar kurikulum nasional
pada tahun 1994. Sejak saat itu standar kurikulum banyak digunakan diberbagai
negara sebagai kerangka kerja bagi guru dan sekolah – sekolah untuk
menyelaraskan kurikulum dan pembangunan dalam bidang pendidikan.
4.
Perkembangan kurikulum sejak 1994, 2004
dan 2006 di Indonesia
Para pakar pendidikan dan ahli ilmu-ilmu sosial di
Indonesia mulai serius terhadap pendidikan IPS sebagai program pendidikan di
tingkat sekolah, sehingga upaya
memasukan ilmu-ilmu sosial ke dalam kurikulum sekolah agar lebih jelas
lagi. Mengingat tidak semua disiplin ilmu-ilmu sosial bisa masuk ke dalam
kurikulum sekolah dan bisa diajarkan di tingkat sekolah, maka penyajian ilmu
sosial disatukan atau secara terintegrasi atau interdisipliner ke dalam
kurikulum Pendidikan IPS (social studies).
Program pendidikan dasar dan menengah (SD – SMP)
penyajiannya terpadu penuh, untuk pembelajaran IPS ditingkat SMA/ MA dan
SMEA penyajiannya secara terpisah antar
cabang ilmu-ilmu sosial, tetapi selalu memperhatikan keterhubungannya antara
ilmu sosial yang satu dengan yang lainnya, terutama jurusan IPS di SMA atau
SMEA. Sementara pada tingkat perguruan tinggi pendidikan ilmu-ilmu sosial
disajikan secara terpisah atau fakultas, seperti Fakultas Ekonomi, Fakultas
Hukum, Fisip. Namun untuk Pendidikan IPS di FKIP / IKIP/STIKIP yang
mempersiapkan calon guru, maka akan diberikan secara interdisipliner dan juga
disipliner. Interdisipliner dimaksudkan adalah karena ilmu yang diperoleh calon
guru tersebut nantinya untuk program pembelajaran untuk usia anak sekolah, dan
secara disipiliner adalah ditujukan kepada calon guru tersebut sebagai guru
nantinya yang menguasai ilmu yang diajarkan.
Kurikulum 1994 dilaksanakan secara bertahap mulai
tahun ajaran 1994 -1995 merupakan pembenahan atas pelaksanaaan kurikulum 1984
setelah memperhatikan tuntutan perkembangan dan keadaan masyarakat saat itu,
khususnya yang menyangkut perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan seni.
Demikian juga kebutuhan pembangunan dan gencarnya arus globalisasi, dan
evaluasi pelaksanaan kurikulum 1984 itu sendiri. Upaya pembaharuan kurikulum
pendidikan nampak saat diadakan serangkaian Rapat Kerja Nasional Depdikbud
tahun 1986 sampai dengan 1989.
Pembenahan kurikulum ini didorong oleh
amanat GBHN 1988 intinya antara lain :
a. perlunya
diteruskan upaya peningkatan mutu pendidikan di berbagai jenis dan jenjang
pendidikan;
b. perlunya
persiapan perluasan wajib belajar pendidikan dasar dari enam tahun menjadi
sembilan tahun dan
c. perlunya
segera dilahirkan undang-undang yang mengatur tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Pada tahun 2004, pemerintah Indonesia melakukan
perubahan kurikulum kembali yang dikenal dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi
(KBK). Namun pengembangan kurikulum IPS diusulkan menjadi Pengetahuan Sosial
untuk merespon secara positif berbagai perkembangan informasi, ilmu pengetahuan
dan teknologi. Pembaharuan kurikulum Pendidikan IPS Tahun 2004 berbasis
kompetensi atau dikenal Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) menghendaki
pelaksanaan program Pendidikan IPS yang powerful, hal tersebut dicirikan oleh
pengembangan program Pendidikan IPS yang bermakna, integratif, berbasis nilai,
menantang dan menerapkan prinsip belajar aktif. Pendidikan IPS bertujuan
meningkatkan kecakapan hidup (life skills) siswa untuk menjadi kompetensi yang
dapat digunakan dalam kehidupan sosial bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pendidikan IPS menurut konsep Kurikulum 2004 yang
berbasis kompetensi (KBK) hakekatnya Pendidikan IPS sebagai pendidikan kewarganegaraan,
pendidikan ilmu-ilmu sosial , pendidikan inquiri reflektif, pembelajaran terpadu, dan pendidikan
partisipasi sosial. Dalam pelaksanaannya, pembelajarannya, pengembangan sumber
dan materinya, serta penilainnya haruslah berbasis pada pendekatan
konstruktivisme yang memusatkan siswa sebagai subjek yang membangun dan mengembangkan
pengetahuan dan kompetensinya secara mandiri.
Pelaksanaan Kurikulum 2006 atau dikenal
dengan sebutan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) mengacu pada standar nasional pendidikan;
standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan
prasarana, pengelolaaan, pembiayaan dan penilaian pendidikan. Salah satu dari
delapan standar nasional pendidikan tersebut adalah Standar Isi (SI) merupakan
acuan utama bagi satuan pendidikan dalam mengembangkan kurikulum disamping Standar
Kompetensi Lulusan (SKL).
LANDASAN FILOSOFIS PENDIDIKAN IPS DALAM KURIKULUM
PENDIDIKAN DI INDONESIA
Bangsa Indonesia
dilihat dari latar belakang etnik atau kesukuan merupakan sebaran
suku-suku bangsa yang mendiami wilayah Indonesia dengan disatukan sebagai
bangsa yang mempunyai latar belakang keaneka ragaman bahasa daerah, budaya dan
kearifan lokal yang dimiliki masing-masing etnik. Secara keseluruhan bangsa
Indonesia saat ini dikenal sebagai bangsa yang majemuk atau heterogenitas multi
etnik yang merupakan bagaian dari masyarakat yang pluralistik. Dengan
kemajemukan masyarakat tersebut pendidikan dan pengajaran Ilmu Pengetahuan
Sosial (IPS) memiliki peran yang strategis baik ditinjau dari segi akademik
maupun kepentingan kehidupan berbangsa dan bernegara. Dilihat dari sisi
akademik pendidikan dan pengajaran IPS dapat membekali anak didik atau siswa
pada pemahaman konsep-konsep dasar ilmu –ilmu sosial sebagai basis dari
pendidikan dan pengajaran IPS di jenjang lembaga pendidikan atau persekolahan. Melalui
pendidikan dan pengajaran IPS siswa diharapkan memiliki bakat dan minat
terhadap ilmu-ilmu sosial dan dapat memecahkan persoalan-persoalan yang riil
ketika mereka tamat pada jenjang persekolahan tertentu dan dapat hidup
berinteraksi dalam lingkungan masyarakat sebagai insan pembangunan bangsa yang
memiliki moral, pekerti yang baik dan mandiri. Keberehasilan pendidikan dan
pengajaran IPS akan dapat memberikan kontribusi yang besar terhadap pembangunan
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pendidikan dan pengajaran IPS di
Indonesia sudah mendapatkan landasan hukum yang kuat sebagaimana tertuang pada
Bab III Pasal 2 UU Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional Republik Indonesia yang menegaskan bahwa : ”
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermanfaat dalam rangka mencerdasakan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggungjawab”. Dengan dasar tersebut diatas pada kurikulum pendidikan dan
pengajaran dibawah naungan Pendidikan Nasional terdapat kebijakan kurikulum
mata pelajaran IPS , misalnya Permendiknas Nomor 22 tahun 2006 tentang standar
isi satuan Pendidikan dasar dan Menengah, sedangkan untuk lembaga pendidikan
tinggi melalui surat Dirjen Dikti Nomor 30/DIKTI/KEP/2003, telah ditetapkan
rambu-rambu pelaksanaan kelompok mata kuliah berkehidupan bermasyarakat di
Pergurtuan Tinggi. Untuk Pendidikan dan Pengajaran IPS pada satuan Pendidikan
Dasar (SD/MI dan SMP/Mts) diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun
2005, termasuk didalamnya kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan
kepribadian, pengajaran pada satuan pendidikan IPS diberikan secara terpadu.
Pada tingkat SMA/MA pelajaran IPS bermuatan akademis dan masuk pada kelompok
mata pelajaran Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
Kajian
Teoritis Landasan Filosofis Kurikulum Pendidikan IPS
Pengembangan suatu kurikulum haruslah memiliki
landasan filosofis, dimaksudkan agar memiliki arah dan tujuan yang jelas dalam
implimentasinya. Filsafat pendidikan mengandung suatu nilai-nilai atau
cita-cita masyarakat, berdasarkan cita-cita tersebut terdapat sebuah landasan,
yang tidak lain mau dibawa kemana arah pendidikan anak didik tersebut. Dengan
kata lain filsafat pendidikan merupakan pandangan hidup masyarakat.
Filsafat pendidikan menjadi landasan
untuk merancang tujuan pendidikan, prinsif – prinsif pembelajaran, serta perangkat pengalaman
belajar yang bersifat mendidik. Filsafat pendidikan dipengaruhi oleh dua hal
pokok (1) Cita-cita masyarakat dan (2) kebutuhan peserta didik yang hidup dalam
masyarakat. Nilai-nilai filsafat Pendidikan harus dilaksanakan dalam prilaku
kehidupan sehari-hari. Dari sekian banyak alternatif landasan utama dalam
mengembangkan kurikulum pendidikan salah satunya adalah Landasan Filosofis.
Secara teoritis terdapat beberapa
pandangan filosofis kurikulum, Landasan Filosofis sebagaimana dipaparkan dalam
“Naskah Akademik Kajian Kebijakan Kurikulum
Mata Pelajaran IPS” Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum
2007, Depdiknas RI dirincikan sebagai berikut :
1.
Esensialisme
Esensialisme; adalah aliran yang
menggariskan bahwa kurikulum harus
menekankan pada penguasaan ilmu. Aliran ini berpandangan bahwa, pendidikan pada
dasarnya adalah pendidikan keilmuan. Kurikulum yang dikembangkan dalam aliran
esensialisme adalah kurikulum disiplin ilmu. Tujuan dari aliran esensialisme
adalah menciptakan intelektualisme. Proses belajar-mengajar yang dikembangkan
adalah siswa harus memiliki kemampuan penguasaan disiplin ilmu. Penerapan
pembelajaran ini lebih banyak berperan pada guru jika dibandingkan dari siswa. Sekolah
yang baik dalam pandangan filsafat esensialisme adalah sekolah yang mampu
mengembangkan intelektualisme siswa. Implementasi mata pelajaran IPS menurut
aliran esensialisme akan lebih menekankan IPS pada aspek kognitif (pengetahuan)
jika dibandingkan dengan aspek afektif (sikap). Siswa belajar IPS akan lebih
berorientasi pada pemahaman konsep-konsep IPS daripada penerapan materi yang
ada pada IPS bagi kehidupan sehari-hari.
2. Perenialsme
Perenialsme; adalah aliran yang
memandang , bahwa sasaran yang harus dicapai oleh pendidikan adalah kepemilikan
atas prinsip-prinsip tentang kenyataan, kebenaran dan nilai yang abadi, serta
tidak terkait oleh ruang dan waktu. Dalam pandangan aliran Perenialisme
kurikulum akan menjadi sangat ideologis karena dengan pandangan-pandangan ini
menjadikan siswa atau peserta didik sebagai warga Negara yang memiliki
pengetahuan, keterampilan dan sikap yang diinginkan oleh Negara. Pandangan
perenialisme lebih menekankan pada Transfer Budaya (transfer of culture),
seperti dalam Implementasinya pada
kurikulum IPS yang bertujuan pada pengembangan dan pembangunan jati diri
bangsa peserta didik dalam rangka menuju tercapainya integrasi bangsa. Aliran ini juga dikenal
menekankan pada kebenaran yang absolut, kebenaran universal yang tidak terikat
pada ruang dan waktu, aliran ini lebih berorientasi ke masa lalu.
3.
Progresivisme
Progresivisme; adalah aliran ini
memandang bahwa sekolah memiliki tujuan yakni kecerdasan yang praktis dan
membuat siswa lebih efektif dalam memecahkan berbagai masalah yang disajikan
oleh guru atau pendidik. Masalah tersebut biasanya ditemukan berdasarkan
pengalaman siswa. Pembelajaran yang harus dikembangkan oleh aliran
Progresivisme adalah memperhatikan kebutuhan individual yang dipengaruhi oleh
latar belakang sosial-budaya dan mendorong untuk berpartisipasi aktif sebagai
warga Negara dewasa, terlibat dalam pengambilan keputusan, dan memiliki
kemampuan dalam memecahkan masalah pada kehidupan sehari-hari. Implementasi IPS
dalam pandangan aliran filsafat Progresivisme adalah bagaimana mata pelajaran
IPS mampu membekali kepada siswa agar
dapat memecahkan permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan
sehari-harinya, misalnya kemiskinan, pengangguran, kebodohan, ketertinggalan,
kenakalan remaja atau narkoba dan lainnya.
4.
Rekonstruksionisme
Rekonstruksionisme; adalah aliran ini
berpendapat bahwa sekolah harus
diarahkan kepada pencapaian tatanan demokrasi yang mendunia. Aliran filsafat
ini menghendaki agar setiap individu dan kelompok tanpa mengabaikan nilai-nilai
masa lalu, mampu mengembangkan pengetahuan, teori, atau pandangan tertentu yang
paling relevan dengan kepentingan mereka melalui pemberdayaan peserta didik
dalam proses pembelajaran guna memproduksipengetahuan baru. Dalam pandangan
aliran filsafat ini lebih menekankan agar siswa dalam pembelajaran mampu
menemukan (inquiri), penemuan yang bersifat informasi baru bagi siswa
berdasarkan bacaan yang ia lakukan. Pembelajaran lebih ditekankan pada proses
bukan hasilnya. Aktivitas siswa menjadi perioritas utama dalam berlangsungnya
pembelajaran. Dalam implementasi pembelajaran IPS , misalnya siswa mempelajari
fakta-fakta disekelilingnya, berdasarkan fakta tersebut siswa menemukan
definisi mengenai sesuatu, tanpa harus didefinisikan terlebih dahulu oleh guru.
Misalnya dalam pelajaran ekonomi diperkenalkan adanya fakta orang-orang yang
mekakukan kegiatan jual – beli. Setelah melihat aktivitas orang-orang tersebut
akhirnya siswa menemukan definisi mengenai penjualan, pembelian, penawaran,
pasar, uang dan lainnya dalam aktivitas jual-beli. Dengan demikian guru tidak
menjelaskan atau membuat definisi, tetapi dari fakta-fakta tersebut siswalah
yang aktif melihat fakta dan dapat mendifinisikannya.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Perkembangan istilah atau nama Social Studies pertama
kali dimasukan secara resmi kedalam kurikulum sekolah Rugby di Inggris pada tahun 1827, Dr. Thomas Arnold direktur sekolah
tersebut adalah orang
pertama yang berjasa memasukan Social Studies kedalam kurikulum
sekolah. Pada awal abad ke – 20 sebuah
Komite Nasional dari The National Education Assciation memberikan rekomendasi
tentang perlunya social studies dimasukan ke dalam kurikulum sekolah dasar dan
sekolah menengah di Amerika Serikat. Tahun 1921 berdirilah “National Council
for the Social Studies “ atau disingkat ( NCSS ), sebuah organisasi professional yang secara
khusus membina dan mengembangkan social
studies pada tingkat pendidikan
dasar dan menengah, serta kaitannya dengan
disiplin ilmu – ilmu sosial dan disiplin ilmu pendidikan sebagai program
pendidikan syntectic. Pada pertemuan ilimiah dalam sebuah seminar Nasional
Indonesia tentang Civic Education tahun 1972 di Tawangmangu Solo Jawa Tengah,
dalam paparan seminar tersebut ditawarkanlah 3 (tiga) istilah untuk dimasukan dalam
pendidikan kewarganegaraan di Indonesia. Pertama; Istilah Pengetahuan sosial;
kedua, Studi Sosial (Social Studies) dan ketiga , Ilmu Pengetahuan Sosial.
Pada tahun 1972 – 1973 sudah pernah dilakukan uji
coba pertama konsep IPS masuk dipersekolahan Indonesia diterapkan pada
kurikulum proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP) IKIP Bandung. Kemudian
secara resmi dalam kurikulum 1975 program pendidikan tentang masalah sosial
dipandang tidak cukup diajarkan melalui pelajaran sejarah dan geografi saja,
sehingga dilakukan reeduksi mata pelajaran mulai tingkat Sekolah Dasar hingga
Sekolah Menengah Atas saat itu dimasukan mata pelajaran ilmu social serumpun
atau sejenis digabung ke dalam mata pelajaran IPS. Oleh karena itu perberlakuan
istilah IPS (social studies) dalam kurikulum 1975 dapat dikatakan sebagai
kelahiran IPS secara resmi di Indonesia. Tahun 1993 National Council for the
Social Studies (NCSS) mengeluarkan definisi resmi yang membawa social studies sebagai kajian yang
terintegrasi dan mencakup ilmu yang
semakin luas. NCSS memaparkan kurikulum
standar untuk studi sosial menyediakan kerangka kerja yang dimusyawarahkan
secara professional. NCSS pertamakali menerbitkan standar kurikulum nasional
pada tahun 1994. Sejak saat itu standar kurikulum banyak digunakan diberbagai
negara sebagai kerangka kerja bagi guru dan sekolah – sekolah untuk
menyelaraskan kurikulum dan pembangunan dalam bidang pendidikan. Kurikulum 1994
dilaksanakan secara bertahap mulai tahun ajaran 1994 -1995 merupakan pembenahan
atas pelaksanaaan kurikulum 1984 setelah memperhatikan tuntutan perkembangan
dan keadaan masyarakat saat itu, khususnya yang menyangkut perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi dan seni. Pembenahan kurikulum ini didorong oleh
amanat GBHN 1988 intinya antara lain a)
perlunya diteruskan upaya peningkatan mutu pendidikan di berbagai jenis dan
jenjang pendidikan; (b) perlunya persiapan perluasan wajib belajar pendidikan
dasar dari enam tahun menjadi sembilan tahun dan (c) perlunya segera dilahirkan
undang-undang yang mengatur tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Pada tahun 2004, pemerintah Indonesia melakukan
perubahan kurikulum kembali yang dikenal dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi
(KBK). Namun pengembangan kurikulum IPS diusulkan menjadi Pengetahuan Sosial
untuk merespon secara positif berbagai perkembangan informasi, ilmu pengetahuan
dan teknologi. Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) menghendaki pelaksanaan
program Pendidikan IPS yang powerful, hal tersebut dicirikan oleh pengembangan
program Pendidikan IPS yang bermakna, integratif, berbasis nilai, menantang dan
menerapkan prinsip belajar aktif. Pendidikan IPS bertujuan meningkatkan
kecakapan hidup (life skills) siswa untuk menjadi kompetensi yang dapat
digunakan dalam kehidupan sosial bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pelaksanaan Kurikulum 2006 atau dikenal dengan
sebutan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) mengacu pada standar nasional pendidikan;
standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana,
pengelolaaan, pembiayaan dan penilaian pendidikan. Salah satu dari delapan
standar nasional pendidikan tersebut adalah Standar Isi (SI) merupakan acuan
utama bagi satuan pendidikan dalam mengembangkan kurikulum disamping Standar
Kompetensi Lulusan (SKL).
Secara teoritis terdapat beberapa pandangan
filosofis kurikulum, Landasan Filosofis sebagaimana dipaparkan dalam “Naskah
Akademik Kajian Kebijakan Kurikulum Mata
Pelajaran IPS ” Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum Tahun 2007,
Depdiknas RI dirincikan sebagai berikut
berikut :
pertama; Esensialisme; adalah aliran yang
menggariskan bahwa kurikulum harus
menekankan pada penguasaan ilmu Tujuan dari aliran esensialisme adalah
menciptakan intelektualisme Sekolah yang baik dalam pandangan filsafat
esensialisme adalah sekolah yang mampu mengembangkan intelektualisme siswa.
kedua Perenialsme; adalah aliran yang memandang ,
bahwa sasaran yang harus dicapai oleh pendidikan adalah kepemilikan atas
prinsip-prinsip tentang kenyataan, kebenaran dan nilai yang abadi, serta tidak
terkait oleh ruang dan waktu. Dalam pandangan aliran Perenialisme kurikulum
akan menjadi sangat ideologis karena dengan pandangan-pandangan ini menjadikan
siswa atau peserta didik sebagai warga Negara yang memiliki pengetahuan,
keterampilan dan sikap yang diinginkan oleh Negara.
Ketiga;
Progresivisme; adalah aliran ini memandang bahwa sekolah memiliki tujuan
yakni kecerdasan yang praktis dan membuat siswa lebih efektif dalam memecahkan
berbagai masalah yang disajikan oleh guru atau pendidik. aliran Progresivisme
adalah memperhatikan kebutuhan individual yang dipengaruhi oleh latar belakang
sosial-budaya dan mendorong untuk berpartisipasi aktif sebagai warga Negara
dewasa, terlibat dalam pengambilan keputusan, dan memiliki kemampuan dalam
memecahkan masalah pada kehidupan sehari-hari. Implementasi IPS dalam pandangan
aliran filsafat Progresivisme adalah bagaimana mata pelajaran IPS mampu
membekali kepada siswa agar dapat
memecahkan permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan
sehari-harinya, misalnya kemiskinan, pengangguran, kebodohan, ketertinggalan,
kenakalan remaja atau narkoba dan lainnya.
Keempat; Rekonstruksionisme; adalah
aliran ini berpendapat bahwa sekolah
harus diarahkan kepada pencapaian tatanan demokrasi yang mendunia. Aliran filsafat
ini menghendaki agar setiap individu dan kelompok tanpa mengabaikan nilai-nilai
masa lalu, mampu mengembangkan pengetahuan, teori, atau pandangan tertentu yang
paling relevan dengan kepentingan mereka melalui pemberdayaan peserta didik dalam proses pembelajaran guna
memproduksipengetahuan baru. Dalam pandangan aliran filsafat ini lebih
menekankan agar siswa dalam pembelajaran mampu menemukan (inquiri), penemuan
yang bersifat informasi baru bagi siswa berdasarkan bacaan yang ia lakukan.
Pembelajaran lebih ditekankan pada proses bukan hasilnya. Aktivitas siswa
menjadi perioritas utama dalam berlangsungnya pembelajaran.
Saran
– Saran
Guru IPS harus berperan aktif dalam
tatanan kerja dimana saat ini sedang
dalam kemajuan belajar melalui Informasi
Teknologi, paling tidak guru IPS harus dipertautkan kembali dalam
keterlibatan filosofis atau filsafat yang berkembang khususnya dalam bidang
pendidikan. Ada dua aliran filsafat ekstreminitas ; pertama sikap reaksioner ;
adalah aliran yang paling hati-hati dan takut kepada pembaharuan; dan kedua
sikap Radikal ;adalah sikap paling keranjingan
atau mendukung pembaharuan. Dengan dua sikap ekstreminitas diatas, maka
guru IPS dalam pendekatan pribadi dapat menempati salah satu titik utama
yang terletak diantara dua ekstreminitas tersebut. Agar jangan sampai
dinilai oleh siswa sebagai guru yang kolot dan ketinggalan, sebaiknya guru atau
pengajar harus banyak belajar seiring dengan kemajuan Informasi dan teknologi,
karena perkembangan informasi Global membuka seluas-luasnya pelajaran di dunia
maya, internet dan media massa, paling tidak guru mampu mengimbangi
proses-belajar mengajar dengan memanfaatkan
peralatan teknologi sebagai alat pengajaran.
DAFTAR PUSTAKA
Ansori,
A., 2011. 52 Kajian Kebijakan Kurikulum Ips. [Online]. Tersedia
:http://www.slideshare.net/Dwijosusilo/52-kajian-kebijakan-kurikulum-ips
[24 September 2011. Jam 18.04 WITA]
Ardhian,
T., 2011. Landasan Kurikulum IPS. [Online]. Tersedia :
http://trioardhian.blogspot.com/2011/05/landasan-kurikulum-ips.html [30 sept
2011 diakses jam 16.50 wita]
Bambang
A. Soekisno, R., 2007. Bagaimanakah Perjalanan Kurikulum Nasional (pada
Pendidikan Dasar dan Menengah) ?. [Online]. Tersedia :
http://rbaryans.wordpress.com/2007/05/16/bagaimanakah-perjalanan-kurikulum-nasional-pada-pendidikan-dasar-dan-menengah/
[30 Sept 2011 diakses jam 15.03 wita]
Daldjoeni,
N., 1992. Dasar –dasar Ilmu Pengetahuan Sosial, Bandung : Penerbit Alumni
Depdiknas,
2007. Naskah Akdemik Kajian Kebijakan Kurikulum Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan
Sosial (IPS) Departemen Pendidikan Nasional Badan Penelitian dan Pengembangan
Pusat Kurikulum 2007. Jakarta: Depdiknas.
Gunawan,
2009. Filosofi Dasar dalam Pengembangan Kurikulum Sekolah. [Online].
Tersedia : http://bloggersumut.net/pendidikan/filosofi-dasar-dalam-pengembangan-kurikulum-sekolah
[30 Sept 2011 diakses jam 15.10 wita]
Haslinda,
2010. Makalah Pendidikan IPS. [Online]. Tersedia : (http
://haslindafadillah,blogspot.com/2010/11/makalah-pendidikan-ips.html [27 Sept
2011 diakses jam 20.44.wita]
Liewie,
2009. Filosofi Pendidikan. [Online]. Tersedia
: http:
//id.shvoong.com/humanities/philosophy/1947159-filosofi-pendidikan/ [27
September 2011 diakses jam 16.40 Wita]
NCSS,
2000. National Standar for Social Studies Teachers :Executive Summary.
[Online]. Tersedia :
http://www.socialstudies.org/standards/execsummary [30 Sept 2011 diakses jam
10.34 wita]
Rijono,
2008. Kurikulum 2004 (KBK) & Kurikulum 2006 (KTSP) Memang Berbeda Secara
Signifikan. [Online]. Tersedia :
http://rijono.wordpress.com/2008/02/28/kurikulum-2004-kbk-kurikulum-2006-ktsp-memang-berbeda-secara-signifikan/
[30 Sept 2011 diakses jam 14.38 wita]
Sukadi,
2004. Pendidikan IPS yang Powerful dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi. Laporan
Penelitian.Singaraja: IKIP negeri Singaraja.
Kamis, 11 Oktober 2012
makalah kemantapan teori,pola berpikir induktif dan deduktif
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1. Kemantapan
Teori
Kemantapan Teori
Secara umum teori diartikan sebagai pendapat. Sedangkan dalam pengertian
khusus, teori hanya digunakan dalam lingkungan ilmu atau biasa disebut teori
ilmiah. Dalam pengertian khusus ini, Kerlinger (1973:9) menyatakan bahwa :A
theory is a set of interrelated constructs (concepts), definitions, and
propositions that present a systematic view of phenomena by specifying
relations among variables, with the purpose of explaning and predicting the
phenomena.”Di dalam definisi ini terkandung tiga konsep penting. Pertama, suatu
teori adalah satu set proposisi yang terdiri atas konsep-konsep yang
berhubungan. Kedua, teori memperlihatkan hubungan antarvariabel atau antar
konsep yang menyajikan suatu pandangan yang sistematik tentang fenomena.
Ketiga, teori haruslah menjelaskan variabelnya dan bagaimana variabel itu
berhubungan.
Teori mempunyai hubungan yang erat
dengan penelitian dan juga dapat meningkatkan arti dari penemuan penelitian.
Tanpa teori, penemuan tersebut akan merupakan keterangan-keterangan empiris
yang berpencar. Makin banyak penelitian yang dituntun oleh teori, maka makin
banyak pula kontribusi penelitian yang secara langsung dapat mengembangkan ilmu
pengetahuan (disarikan dari Moh. Nazir, 1983:22-25).
2. Penalaran
Deduktif dan Induktif
Penalaran adalah proses berpikir yang bertolak dari
pengamatan indera (observasi empirik) yang menghasilkan sejumlah konsep dan
pengertian. Berdasarkan pengamatan yang sejenis juga akan terbentuk proposisi –
proposisi yang sejenis, berdasarkan sejumlah proposisi yang diketahui atau
dianggap benar, orang menyimpulkan sebuah proposisi baru yang sebelumnya tidak
diketahui. Proses inilah yang disebut menalar. Dalam penalaran, proposisi yang
dijadikan dasar penyimpulan disebut dengan premis (antesedens) dan hasil
kesimpulannya disebut dengan konklusi (consequence).
Penalaran adalah suatu proses berfikir dalam menarik
suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan. Ciri pertama adalah proses berpikir
logis, dimana berpikir logis diartikan sebagai kegiatan berpikir menurut pola
tertentu atau dengan kata lain menurut logika tertentu. Ciri yang kedua adalah
sifat analitik dari proses berpikirnya. Dalam makalah telah dikemukakan
dasar-dasar bagi jalan pikiran atau proses penalaran sebagai landasan bagi
argumentasi.dasar-dasar itu meliputi pengertian inferensi, implikasi, evidensi,
dan cara menilai fakta dan evidensi utuk dipergunakan dalam sebuah argumentasi.
Proses penalaran atau jalan pikiran
manusia pada hakikatnya sangat kompleks dan rumit, dan dapat terdiri dari suatu
mata rantaievidensi dan kesimpulan-kesimpulam.karena kekompleksan dan kerumitan
itulah maka tidak mengherankan bila ahli-ahli logika dan psikolog tidak selalu
sepakat mengenai beberapa unsur dari proses penalaran itu.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah
yang membuat kemantapan teori erat hubungannya dengan suatu penelitian.?
2. Jenis
penalaran apakah yang bertolak dari pengamatan indra (observasi empirik)
C. Tujuan Makalah
Agar
dapat mengetahui macam- macam penalaran berdasarkan pola pikir dari berbagai
pendapat para ahli, serta mengetahui tentang bagaimana pemikiran yang bersifat
induktif dan deduktif.
D. Manfaat Penulisan
1. Mahasiswa
dapat memperluas wawasan tentang arti penalaran atau teori dan dapat mengetahui
pola berpikir induktif dan diduktif serta dapat menerapkannya dikehidupan.
2. Guru,
dapat menjelaskan berbagai macam teori yang telah dikembangkan oleh para ahli,
3. Unlam,
menambah referinsi buku yang menyangkut tentang macam- macam teori, dan
berpikir induktif dan deduktif.
BAB II
TINJAUAN TEORI
Berpikir merupakan manipulasi atau
organisasi unsur-unsur lingkungan dengan menggunakan lambing-lambang sehingga
tidak perlu langsung melakukan kegiatan yang tampak (Floyd L. Ruch dlm bukunya
yg klasik, Psychology and Life (1976)).
Menurut Paul Mussen dan Mark R. Rosenzweig, “The
term ‘thinking’ refers to many kind of activities that involve the manipulation
of concept and symbols, representation of objects and event” (1973). Jadi,
berpikir menunjukkan berbagai kegiatan yang melibatkan penggunaan konsep dan
lambang, sebagai pengganti objek dan peristiwa. Jelas berpikir melibatkan
penggunaan lambing, visual atau grafis. Tetapi untuk apa orang berpikir?
Berpikir kita lakukan untuk memahami realitas dalam rangka mengambil keputusan
(decision making), memecahkan persoalan (problem solving), dan menghasilkan
yang baru (creativity). Memahami relitas berarti menarik kesimpulan, meneliti
berbagai kemungkinan penjelasan dari realitas eksternal dan internal. Sehingga
dengan singkat, Anita Taylor et al. Mendefinisikan berpikir sebagai proses
penarikan kesimpulan. Thinking is a inferring process (Taylor et al. 1977).
Menurut para ahli filsafat ilmu
pengetahuan, bahwa sejatinya ‘tidak semua kegiatan berpikir (penalaran) manusia
mendasarkan pada penalaran ilmiah (deduktif atau induktif)’. Ada juga kegiatan
berpikir manusia berdasarkan:
1. perasaan,
emosi yang sering disebut ‘intuisi’. Kegiatan berpikir secara intuisi sering
disebut berpikir secara nonanalitik;
2. wahyu’,
atau firman Tuhan dalam proses ibadah atau kegiatan-kegiatan sosial-budaya sehari-hari.
Jadi, berdasarkan ‘hakikat proses usaha’ manusia dalam memperoleh ilmu
pengetahuan, maka pengetahuan yang berkembang di masyarakat dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu:
a. pengetahuan
sebagai hasil produk pikiran analitik dan nonanalitik manusia;
b.
pengetahuan sebagai pemberian ‘wahyu’
dari Tuhan. Hal ini sering disebut ‘pengetahuan agama’ (Suriasumantri, 1998;
Hanafi, H., 2004).
Manusia adalah satu-satunya makhluk yang memiliki
kemampuan untuk berpikir (homo thinking), makhluk yang mampu membangun atau
mengembangkan potensi rasa dan karsa (emosional quition); dan makhluk yang
mampu membangun kualitas kedekatan pata Tuhan (spiritual quation) (Muthahhari,
M.. 1997; Tafsir, A. 2007). Jadi, manusia adalah makhluk ‘multi dimensional’,
dengan segala kemampuan yang dimiliki manusia mampu mengembangkan ilmu
pengetahuan, dan ilmu pengetahuan itulah yang menjadi senjata pamungkas bagi
manusia dalam mengusai atau memberdayakan alam seisinya. Kemampuan multidimensi
tersebut, menyebabkan manusia mampu mengembangkan beragam ilmu pengetahuan atau
kebudayaan yang kompleks menuju keunggulan hidup (civilization).
Ismaun (2001:32) mengemukakan bahwa
teori adalah pernyataan yang berisi kesimpulan tentang adanya keteraturan
subtantif. Menemukan keteraturan itulah tugas ilmuwan, dan dengan kemampuan
kreatif rekayasanya, ilmuwan dapat membangun keteraturan rekayasa. Keteraturan
rekayasa ini dapat dibedakan dalam tiga keteraturan, yaitu : (1) keteraturan
alam, (2) keteraturan kehidupan sosial manusia dan (3) keteraturan rekayasa
teknologi.
BAB
III
PEMBAHASAN
A.
Teori
Teori yang
dirumuskan untuk menjelaskan, memprediksi, dan memahami fenomena dan, dalam
banyak kasus, untuk menantang dan memperluas pengetahuan yang ada, dalam
batas-batas asumsi melompat-lompat kritis.
Kerangka teoritis adalah struktur yang dapat menahan atau mendukung
teori studi penelitian. Kerangka
teoritis memperkenalkan dan menjelaskan teori yang menjelaskan mengapa masalah
penelitian yang diteliti ada.
Teori adalah serangkaian bagian atau variabel,
definisi, dan dalil yang saling berhubungan yang menghadirkan sebuah pandangan
sistematis mengenai fenomena dengan menentukan hubungan antar variabel, dengan
menentukan hubungan antar variabel, dengan maksud menjelaskan fenomena alamiah.
Labovitz dan Hagedorn mendefinisikan teori sebagai ide pemikiran “pemikiran
teoritis” yang mereka definisikan sebagai “menentukan” bagaimana dan mengapa
variable-variabel dan pernyataan hubungan dapat saling berhubungan.
Kata teori memiliki arti yang berbeda-beda pada
bidang-bidang pengetahuan yang berbeda pula tergantung pada metodologi dan
konteks diskusi. Secara umum, teori merupakan analisis hubungan antara fakta
yang satu dengan fakta yang lain pada sekumpulan fakta-fakta. Selain itu, berbeda dengan teorema, pernyataan
teori umumnya hanya diterima secara "sementara" dan bukan merupakan
pernyataan akhir yang konklusif. Hal ini mengindikasikan bahwa teori berasal
dari penarikan kesimpulan yang memiliki potensi kesalahan, berbeda dengan
penarikan kesimpulan pada pembuktian matematika. Sedangkan secara lebih
spesifik di dalam ilmu sosial, terdapat pula teori sosial. Neuman mendefiniskan
teori sosial adalah sebagai sebuah sistem dari keterkaitan abstraksi atau
ide-ide yang meringkas dan mengorganisasikan pengetahuan tentang dunia sosial. Perlu
diketahui bahwa teori berbeda dengan idiologi, seorang peneliti kadang-kadang
bias dalam membedakan teori dan ideologi. Terdapat kesamaan di antara kedunya,
tetapi jelas mereka berbeda.
Teori dapat merupakan bagian dari ideologi, tetapi
ideologi bukan teori. Contohnya adalah Aleniasi manusia adalah sebuah teori
yang diungkapakan oleh Karl Marx, tetapi Marxis atau Komunisme secara
keseluruhan adalah sebuah ideologi. Dalam ilmu pengetahuan, teori dalam ilmu
pengetahuan berarti model atau kerangka pikiran yang menjelaskan fenomena alami
atau fenomena sosial tertentu. Teori dirumuskan, dikembangkan, dan dievaluasi
menurut metode ilmiah. Teori juga merupakan suatu hipotesis yang telah terbukti
kebenarannya. Manusia membangun teori untuk menjelaskan, meramalkan, dan
menguasai fenomena tertentu (misalnya, benda-benda mati, kejadian-kejadian di
alam, atau tingkah laku hewan). Sering kali, teori dipandang sebagai suatu
model atas kenyataan (misalnya : apabila kucing mengeong berarti minta makan).
Sebuah teori membentuk generalisasi atas banyak pengamatan dan terdiri atas
kumpulan ide yang koheren dan saling berkaitan.
Istilah teoritis dapat digunakan untuk menjelaskan
sesuatu yang diramalkan oleh suatu teori namun belum pernah terpengamatan.
Sebagai contoh, sampai dengan akhir-akhir ini, lubang hitam dikategorikan
sebagai teoritis karena diramalkan menurut teori relativitas umum tetapi belum
pernah teramati di alam. Terdapat miskonsepsi yang menyatakan apabila sebuah
teori ilmiah telah mendapatkan cukup bukti dan telah teruji oleh para peneliti
lain tingkatannya akan menjadi hukum ilmiah. Hal ini tidaklah benar karena
definisi hukum ilmiah dan teori ilmiah itu berbeda. Teori akan tetap menjadi
teori, dan hukum akan tetap menjadi hukum.
Teori adalah
serangkaian bagian atau variabel, definisi, dan dalil yang saling berhubungan
yang menghadirkan sebuah pandangan sistematis mengenai fenomena dengan
menentukan hubungan antar variabel, dengan menentukan hubungan antar variabel,
dengan maksud menjelaskan fenomena alamiah.
Teori juga
merupakan suatu hipotesis yang telah terbukti kebenarannya. Manusia membangun
teori untuk menjelaskan, meramalkan, dan menguasai fenomena tertentu misalnya,
benda-benda mati, kejadian-kejadian di alam, atau tingkah laku hewan. Sering
kali, teori dipandang sebagai suatu model atas kenyataan. Misalnya : apabila
kucing mengeong berarti minta makan.
Hubungan antara hipotesis dengan teori
Hipotesis ini merupakan suatu jenis proposisi yang
dirumuskan sebagai jawaban tentatif atas suatu masalah dan kemudian diuji
secara empiris. Sebagai suatu jenis proposisi, umumnya hipotesis menyatakan
hubungan antara dua atau lebih variabel yang di dalamnya pernyataan-pernyataan
hubungan tersebut telah diformulasikan dalam kerangka teoritis. Hipotesis ini,
diturunkan, atau bersumber dari teori dan tinjauan literatur yang berhubungan
dengan masalah yang akan diteliti. Oleh karena itu teori yang tepat akan
menghasilkan hipotesis yang tepat untuk digunakan sebagai jawaban sementara
atas masalah yang diteliti atau dipelajari dalam penelitian. Dalam penelitian
kuantitatif peneliti menguji suatu teori. Untuk meguji teori tersebut, peneliti
menguji hipotesis yang diturunkan dari teori. Teori adalah serangkaian bagian atau variabel, definisi, dan dalil
yang saling berhubungan yang menghadirkan sebuah pandangan sistematis mengenai
fenomena dengan menentukan hubungan antar variabel, dengan maksud menjelaskan
fenomena alamiah (John
W Creswell, Research Design: Qualitative & Quantitative Approach, (London:
Sage, 1993) hal 120)
Sedangkan secara lebih spesifik di dalam ilmu
sosial, terdapat pula teori sosial. Neuman mendefiniskan Teori Sosial adalah sebagai sebuah sistem
dari keterkaitan abstraksi atau ide-ide yang meringkas dan mengorganisasikan pengetahuan
tentang dunia sosial. (W.L
Neuman, Social Research Methods: Qualitative & Quantitative Approach,
(London: Sage, 2003).
B.
Berpikir induktif
Induksi adalah cara mempelajari sesuatu yang
bertolak dari hal-hal atau peristiwa khusus untuk menentukan hukum yang umum
(Kamus Umum Bahasa Indonesia, hal 444 W.J.S.Poerwadarminta. Balai Pustaka 2006).
Induksi merupakan cara berpikir dimana ditarik suatu
kesimpulan yang bersifat umum dari berbagai kasus yang bersifat individual.
Penalaran secara induktif dimulai dengan mengemukakan pernyataan-pernyataan
yang mempunyai ruang lingkup yang khas dan terbatas dalam menyusun argumentasi
yang diakhiri dengan pernyataan yang bersifat umum (filsafat ilmu.hal 48
Jujun.S.Suriasumantri Pustaka Sinar Harapan. 2005).
Berpikir induktif adalah metode yang digunakan dalam
berpikir dengan bertolak dari hal-hal khusus ke umum. Hukum yang disimpulkan
difenomena yang diselidiki berlaku bagi fenomena sejenis yang belum diteliti.
Generalisasi adalah bentuk dari metode berpikir induktif. (www.id.wikipedia.com).
Jalan induksi mengambil jalan tengah, yakni di antara jalan yang memeriksa cuma
satu bukti saja dan jalan yang menghitung lebih dari satu, tetapi boleh
dihitung semuanya satu persatu. Induksi mengandaikan, bahwa karena beberapa
(tiada semuanya) di antara bukti yang diperiksanya itu benar, maka sekalian
bukti lain yang sekawan, sekelas dengan dia benar pula.
Menurut Suriasumantri (2001: 48), “ Induktif
merupakan cara berpikir di mana ditarik suatu kesimpulan yang bersifat umum
dari berbagai kasus yang bersifat individual.”
Contoh
:
Kambing mempunyai mata, gajah mempunyai mata, kerbau
mempunyai mata, dan harimau mempunyai mata. Dari kenyataan-kenyataan ini, kita
dapat menarik kesimpulan yang bersifat umum, yaitu semua binatang yang berkaki
empat mempunyai mata.
Jenis-jenis
penalaran induktif antara lain :
1.
Generalisasi
Generalisasi
adalah proses penalaran yang bertolak dari fenomena individual menuju
kesimpulan umum.Contoh Generalisasi :
v Nikita
Willy adalah bintang sinetron, dan ia berparas cantik.
v Marshanda
adalah bintang sinetron, dan ia berparas cantik.
Generalisasi: Semua bintang sinetron berparas
cantik.
Pernyataan “semua bintang sinetron berparas
cantik” hanya memiliki kebenaran probabilitas karena belum pernah diselidiki
kebenarannya.
Contoh kesalahannya:
Omas juga bintang iklan, tetapi tidak berparas
cantik.
2.
Analogi induktif
Analogi
induktif, yaitu analogi yang disusun berdasarkan persamaan yang ada pada dua
fenomena, kemudian ditarik kesimpulan bahwa apa yang ada pada fenomena pertama
terjadi juga pada fenomena kedua. Analogi induktif merupakan suatu metode yang
sangat bermanfaat untuk membuat suatu kesimpulan yang dapat diterima
berdasarkan pada persamaan yang terbukti terdapat pada dua barang khusus yang
diperbandingkan.
Cara
penarikan penalaran dengan membandingkan dua hal yang mempunyai sifat yang
sama.
Analogi mempunyai 4 fungsi,antara lain :
·
Membandingkan beberapa orang yang
memiliki sifat kesamaan
·
Meramalkan kesaman
·
Menyingkapkan kekeliruan
·
klasifikasi
Contoh
analogi :
Demikian pula
dengan manusia yang tidak berilmu dan tidak berperasaan, ia akan sombong dan
garang. Oleh karena itu, kita sebagai manusia apabila diberi kepandaian dan
kelebihan, bersikaplah seperti padi yang selalu merunduk.
3. Analogi Deklaratif
Analogi deklaratif merupakan metode untuk
menjelaskan atau menegaskan sesuatu yang belum dikenal atau masih samar, dengan
sesuatu yang sudah dikenal. Cara ini sangat bermanfaat karena ide-ide baru
menjadi dikenal atau dapat diterima apabila dihubungkan dengan hal-hal yang
sudah kita ketahui atau kita percayai.
contoh
analogi deklaratif :
deklaratif
untuk penyelenggaraan negara yang baik diperlukan sinergitas antara kepala
negara dengan warga negaranya. Sebagaimana manusia, untuk mewujudkan perbuatan
yang benar diperlukan sinergitas antara akal dan hati.
C. Berpikir deduktif
Deduksi berasal dari bahasa Inggris deduction yang
berarti penarikan kesimpulan dari keadaan-keadaan yang umum, menemukan yang
khusus dari yang umum, lawannya induksi (Kamus Umum Bahasa Indonesia hal 273
W.J.S.Poerwadarminta. Balai Pustaka 2006.
Deduksi adalah cara berpikir dimana dari pernyataan
yang bersifat umum ditarik kesimpulan yang bersifat khusus. Penarikan
kesimpulan secara deduktif biasanya mempergunakan pola berpikir yang dinamakan
silogismus. Silogismus disusun dari dua buah pernyataan dan sebuah kesimpulan. (Filsafat
Ilmu.hal 48-49 Jujun.S.Suriasumantri Pustaka Sinar Harapan. 2005)
Metode berpikir deduktif adalah metode berpikir yang
menerapkan hal-hal yang umum terlebih dahulu untuk seterusnya dihubungkan dalam
bagian-bagiannya yang khusus. (www.id.wikipedia.com).
Penalaran deduktif menggunakan bentuk bernalar
deduksi. Deduksi yang berasal dari kata de dan ducere, yang berarti proses
penyimpulan pengetahuan khusus dari pengetahuan yang lebih umum. Perihal khusus
tersebut secara implisit terkandung dalam yang lebih umum. Maka, deduksi
merupakan proses berpikir dari pengetahuan umum ke individual.
Selanjutnya menurut Suriasumantri (2001: 49), “
Penalaran deduktif adalah kegiatan berpikir yang sebaliknya dari penalaran induktif.
Deduktif adalah cara berpikir di mana dari pernyataan yang bersifat umum
ditarik suatu kesimpulan yang bersifat khusus.”
Contoh :
Semua manusia akan
mati.
Si Polan adalah
manusia.
Jadi Si Polan akan
mati.
Salah satu karakteristik matematika adalah bersifat deduktif.
Dalam pembelajaran matematika, pola pikir deduktif itu penting dan merupakan
salah satu tujuan yang bersifat formal,
yang memberi tekanan pada penataan nalar. Meskipun pola pikir deduktif itu
sangat penting, namun dalam pembelajaran matematika masih sangat diperlukan
penggunaan pola pikir induktif. Menurut Soedjadi (2000: 45), “ Penyajian
matematika perlu dimulai dari contoh-contoh, yaitu hal-hal yang khusus,
selanjutnya secara bertahap menuju kepada pembentukan suatu kesimpulan yang
bersifat umum. Kesimpulan itu dapat berupa definisi atau teorema.” Selanjutnya
menurut Soedjadi (2000: 46), “ Bila kondisi kelas memungkinkan, kebenaran
teorema dapat dibuktikan secara deduktif. Namun jika pembuktian dipandang
berat, pola pikir deduktif dapat diperkenalkan melalui penggunaan definisi
ataupun teorema.”
Penalaran deduktif adalah cara berpikir dengan
berdasarkan suatu pernyataan dasar untuk menarik kesimpulan. Pernyataan
tersebut merupakan premis, sedangkan kesimpulan merupakan implikasi pernyataan
dasar tersebut. Artinya, apa yang dikemukakan dalam kesimpulan sudah tersirat
dalam premisnya. Jadi, proses deduksi sebenarnya tidak menghasilkan suatu
konsep baru, melainkan pernyataan atau kesimpulan yang muncul sebagai
konsistensi premis-premisnya.
Contoh
klasik dari penalaran deduktif:
·
Semua manusia pasti mati (premis mayor)
·
Sokrates adalah manusia (premis minor)
·
Sokrates pasti mati (kesimpulan)
Penalaran deduktif tergantung pada premisnya.
Artinya, premis yang salah mungkin akan membawa kita kepada hasil yang salah
dan premis yang tidak tepat juga akan menghasilkan kesimpulan yang tidak tepat.
Alternatif dari penalaran deduktif adalah penalaran induktif.
Metode ini diawali dari pebentukan teori, hipotesis,
definisi operasional, instrumen dan operasionalisasi. Dengan kata lain, untuk
memahami suatu gejala terlebih dahulu harus memiliki konsep dan teori tentang
gejala tersebut dan selanjutnya dilakukan penelitian di lapangan. Dengan
demikian konteks penalaran deduktif tersebut, konsep dan teori merupakan kata
kunci untuk memahami suatu gejala.
Macam-macam penarikan kesimpulan secara deduktif
Penarikan simpulan (konklusi) secara deduktif dapat
dilakukan secara langsung dan dapat pula dilakukan secara tidak langsung.
1. Menarik Simpulan
secara Langsung
Simpulan (konklusi) secara langsung ditarik dari
satu premis. Sebaliknya, konklusi yang ditarik dari dua premis dosebut simpulan
tak langsung.
Misalnya
:
Semua S adalah P. (premis)
Sebagian P adalah S. (simpulan)
Contoh:
Semua ikan berdarah dingin. (premis)
Sebagian yang berdarah dingin adalah ikan.
(simpulan)
Semua S adalah P. (premis)
Tidak satu pun S adalah tak-P. (simpulan)
Tidak satu pun tak-P adalah S. (simpulan)
Contoh:
Semua gajah adalah berbelai. (premis)
Tidak satu pun gajah adalah takberbelai. (simpulan)
Tidak satu pun yang takberbelai adalah gajah.
(simpulan)
2. Menarik Simpulan
secara Tidak Langsung
Pernalaran deduksi yang berupa penarikan simpulan
secara tidak langsung memrlukan dua premis sebagai data. Dari dua premis ini
akan dihasilkjan sebuah simpulan. Premis yang pertama adalah premis yang
bersifat umum dan premis yang kedua adalah premis yang bersifat khusus.Untuk
menarik simpulan secara tidak langsung ini, kita memerlukan suatu premis
(pernyataan dasar) yang bersifat pengetahuan yang semua orang sudah tahu,
umpamanya setiap manusia akan mati, semua ikan berdarah dingin, semua sarjana
adalah lulusan perguruan tinggi, atau semua pohon kelapa adalah serabut.
BAB
IV
PENUTUP
KESIMPULAN
Penalaran ilmiah pada hakikatnya merupakan gabungan
dari penalaran deduktif dan induktif. Dimana lebih lanjut penalaran deduktif
terkait dengan rasionalisme dan penalaran induktif dengan empirisme. Secara
rasional ilmu menyusun pengetahuannya secara konsisten dan kumulatif, sedangkan
secara empiris ilmu memisahkan antara pengetahuan yang sesuai fakta dengan yang
tidak. Karena itu sebelum teruji kebenarannya secara empiris semua penjelasan
rasional yang diajukan statusnya hanyalah bersifat sementara, Penjelasan
sementara ini biasanya disebut hipotesis.
Hipotesis ini pada dasarnya disusun secara deduktif
dengan mengambil premis-premis dari pengetahuan ilmiah yang sudah diketahui
sebelumnya, kemudian pada tahap pengujian hipotesis proses induksi mulai
memegang peranan di mana dikumpulkan fakta-fakta empiris untuk menilai apakah
suatu hipotesis di dukung fakta atau tidak. Sehingga kemudian hipotesis
tersebut dapat diterima atau ditolak. Maka dapat disimpulkan bahwa nalar
deduktif dan nalar induktif diperlukan dalam proses pencarian pengetahuan yang
benar.
DAFTAR
PUSTAKA
Jujun S. Suriasumantri. Ilmu dalam Persfektif.
Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2005
Jujun S, Suriasumantri, Filsafat Ilmu, Sebuah
Pengantar Populer. Pustakan Sinar Harapan, Jakarta, 2003
Louis O. Kattsof. Pengantar Filsafat. Tiara Wacana
Yogya, Yogyakarta,2004
Mark Rowlands. Menikmati Filsafat melalui film
science-fiction. Mizan, Bandung, 2004
Stephen Law, Filsafat Itu Heboh. Teraju, Bandung,
2003
Tan Malaka, MADILOG. Pusat Data Indikator, Jakarta,
1999
Pustaka web site. www.id.wikipedia.com
Abraham,
F.M. 1982. Modern Sociological Theory, An Introduction, Oxford University
Press. Delhi.
Agus, B.1999. Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial,
PT.Gema Insani Press. Jakarta.
Agustian, Ary G. 2005. Rahasia Sukses
Membangun Kecerdasan Emosional dan Spiritual (ESQ). Penerbit ARGA. Jakarta.
Alvesson, M. and Skoldberg. 2000. Reflexive
Methodology. New Vistas for Qualitative Research, SAGE Publications, Inc.
London.
Ankersmit. 1987. Denken over geschiedenis. Een
overzicht van moderne geschiedfilosofische opvattingen. Dick Hartoko
(penerjemah). Refleksi tentang Sejarah. Pendapat-pendapat Modern tentang
Filsafat Sejarah. 1987.PT. Gramdeia. Jakarta.
Bakri, M. (ed). 2002. Metodologi Penelitian
Kualitatif, Tinjauan Teoritis dan Praktis, Lemlit Iniversitas Islam Malang.
Langganan:
Postingan (Atom)