Sabtu, 20 Oktober 2012

GEOGRAFI LINGKUNGAN DAN SUMBERDAYA 


Minggu, 21 Oktober 2012

makalah geografi lingkungan dan sumberdaya

A. EKOSISTEM

Pengertian Ekosistem

Ekosistem adalah suatu sistem ekologi yang terdiri atas komponen-komponen yang saling berintegrasi sehingga membentuk suatu kesatuan (Asdak,2001).

Ekosistem : tatanan unsur lingkungan hidup yang merupakan kesatuan utuh menyeluruh dan saling mempengaruhi dalam bentuk keseimbangan, stabilitas dan produktivitas lingkungan hidup (UULHPasal1ayat4).

Ekosistem adalah suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik tak terpisahkan antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Ekosistem bisa dikatakan juga suatu tatanan kesatuan secara utuh dan menyeluruh antara segenap unsur lingkungan hidup yang saling memengaruhi.

Ekosistem merupakan penggabungan dari setiap unit biosistem yang melibatkan interaksi timbal balik antara organisme dan lingkungan fisik sehingga aliran energi menuju kepada suatu struktur biotik tertentu dan terjadi suatu siklus materi antara organisme dan anorganisme. Matahari sebagai sumber dari semua energi yang ada.

Komponen Ekosistem

Komponen-komponen pembentuk ekosistem adalah:


Abiotik


Abiotik atau komponen tak hidup adalah komponen fisik dan kimia yang merupakan medium atau substrat tempat berlangsungnya kehidupan, atau lingkungan tempat hidup. Sebagian besar komponen abiotik bervariasi dalam ruang dan waktunya. Komponen abiotik dapat berupa bahan organik, senyawa anorganik, dan faktor yang memengaruhi distribusi organisme, yaitu:


Suhu.

Proses biologi dipengaruhi suhu. Mamalia dan unggas membutuhkan energi untuk meregulasi temperatur dalam tubuhnya.

Air.

Ketersediaan air memengaruhi distribusi organisme. Organisme di gurun beradaptasi terhadap ketersediaan air di gurun.

Garam.

Konsentrasi garam memengaruhi kesetimbangan air dalam organisme melalui osmosis. Beberapa organisme terestrial beradaptasi dengan lingkungan dengan kandungan garam tinggi.

Cahaya matahari.

Intensitas dan kualitas cahaya memengaruhi proses fotosintesis. Air dapat menyerap cahaya sehingga pada lingkungan air, fotosintesis terjadi di sekitar permukaan yang terjangkau cahaya matahari. Di gurun, intensitas cahaya yang besar membuat peningkatan suhu sehingga hewan dan tumbuhan tertekan.

Tanah dan batu.

Beberapa karakteristik tanah yang meliputi struktur fisik, pH, dan komposisi mineral membatasi penyebaran organisme berdasarkan pada kandungan sumber makanannya di tanah.

Iklim.

Iklim adalah kondisi cuaca dalam jangka waktu lama dalam suatu area. Iklim makro meliputi iklim global, regional dan lokal. Iklim mikro meliputi iklim dalam suatu daerah yang dihuni komunitas tertentu.

Biotik

Biotik adalah istilah yang biasanya digunakan untuk menyebut sesuatu yang hidup (organisme). Komponen biotik adalah suatu komponen yang menyusun suatu ekosistem selain komponen abiotik (tidak bernyawa). Berdasarkan peran dan fungsinya, makhluk hidup dibedakan menjadi tiga macam, yaitu:

Heterotrof / Konsumen

Komponen heterotrof terdiri dari organisme yang memanfaatkan bahan-bahan organik yang disediakan oleh organisme lain sebagai makanannya . Komponen heterotrof disebut juga konsumen makro (fagotrof) karena makanan yang dimakan berukuran lebih kecil. Yang tergolong heterotrof adalah manusia, hewan, jamur, dan mikroba.

Pengurai / dekomposer

Pengurai atau dekomposer adalah organisme yang menguraikan bahan organik yang berasal dari organisme mati. Pengurai disebut juga konsumen makro (sapotrof) karena makanan yang dimakan berukuran lebih besar. Organisme pengurai menyerap sebagian hasil penguraian tersebut dan melepaskan bahan-bahan yang sederhana yang dapat digunakan kembali oleh produsen. Yang tergolong pengurai adalah bakteri dan jamur. Ada pula pengurai yang disebut detritivor, yaitu hewan pengurai yang memakan sisa-sisa bahan organik, contohnya adalah kutu kayu. Tipe dekomposisi ada tiga, yaitu:

aerobik : oksigen adalah penerima elektron / oksidan

anaerobik : oksigen tidak terlibat. Bahan organik sebagai penerima elektron /oksidan

fermentasi : anaerobik namun bahan organik yang teroksidasi juga sebagai penerima elektron. komponen tersebut berada pada suatu tempat dan berinteraksi membentuk suatu kesatuan ekosistem yang teratur. Misalnya, pada suatu ekosistem akuarium, ekosistem ini terdiri dari ikan sebagai komponen heterotrof, tumbuhan air sebagai komponen autotrof, plankton yang terapung di air sebagai komponen pengurai, sedangkan yang termasuk komponen abiotik adalah air, pasir, batu, mineral dan oksigen yang terlarut dalam air.

PERKEMBANGAN FILSAFAT TERHADAP KURIKULUM IPS


BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah
Ilmu Pengetahuan Sosial merupakan mata pelajaran yang bersumber dari kehidupan sosial masyarakat yang diseleksi menggunakan konsep-konsep ilmu sosial yang digunakan untuk kepentingan pembelajaran. Keadaan sosial masyarakat selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu, dinamisasi kemajuan diberbagai bidang kehidupan harus dapat ditangkap dan diperhatikan oleh lembaga pendidikan yang kemudian menjadi bahan materi pembelajaran, sehingga bahan pelajaran secara formal dapat dituangkan dalam bentuk kurikulum.
Kurikulum IPS yang dikembangkan hendaknya memiliki landasan filosofis yang jelas, landasan filosofis yang digunakan haruslah  melihat kondisi nyata yang terjadi di masyarakat. Kondisi masyarakat yang terjadi saat ini adalah  masyarakat yang senantiasa mengalami perubahan-perubahan yang disebabkan adanya interaksi sosial baik antar individu nmaupum kelompok. Dalam mencermati perubahan tersebut, maka kurikulum harus memiliki landasan filosofis humanistik, dimana Ilmu Pengetahuan Sosial  menjunjung tinggi sifat-sifat dasar kemanusiaan.
Perkembangan istilah atau nama Social Studies pertama kali dimasukan secara resmi  kedalam  kurikulum sekolah  Rugby di Inggris  pada tahun 1827, Dr. Thomas Arnold  direktur  sekolah  tersebut  adalah  orang  pertama yang  berjasa  memasukan Social Studies kedalam kurikulum sekolah. Latar belakang dimasukannya social studies ke dalam kurikulum sekolah berangkat dari kondisi masyarakat Inggris yang pada waktu itu tengah mengalami kekacauan akibat Revolusi Industri yang melanda Negara itu.  (http://massofa.wordpress.com/2010/12/09/latar-belakang-lahirnya-ips-di-indonesia/(27 September 2011) diakses jam 20.28 wita.). Berbeda dengan fenomena di Amerika Serikat  pasca perang saudara antara utara dan selatan atau dikenal perang budak (1861 – 1865) dimana dihapuskannya sistem perbudakan dan dan tidak ada lagi rasialisme atau perbedaan warna kulit, orang kulit putih dengan orang negro dan Indian bersatu sebagai penduduk baru di  Amerika Serikat, serta menjadikan  pluralistik – multi etnik, sehingga semakin sulit pada awalnya membangun kebangsaan di Amerika Serikat dalam kondisi multi etnik untuk menjadi suatu bangsa. Para pakar kemasyarakatan dan pendidikan mencari pola baru untuk menjadikan sistem pendidikan yang menghormati keberadaan multi – etnis di Amerika Serikat, salah satu cara yang ditempuh adalah memasukan social studies  kedalam kurikulum sekolah di Negara bagian Wisconsin pada tahun 1892. Pada awal abad ke – 20 sebuah Komite Nasional dari The National Education Association memberikan rekomendasi tentang perlunya social studies dimasukan ke dalam kurikulum sekolah dasar dan sekolah menengah di Amerika Serikat, adapun komponen formula awal social studies ketika awal kelahirannya di Amerika Serikat terdiri dari mata pelajaran sejarah, geografi dan civics (kewarganegaraan).
Social studies dalam istilah Indonesia disebut Pendidikan IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial), dalam proses eksistensinya terdapat dalam “The National Herbart Society papers of 1896 – 1897” menegaskan, bahwa social studies sebagai delimiting the social sciences for pedagogical use (upaya membatasi ilmu-ilmu sosial untuk kepentingan pedagogik / mendidik). Dengan hadirnya social studies  masuk pada kurikulum di sekolah, ada juga di beberapa negara bagian di Amerika Serikat dan di Inggris untuk mengembangkan program pendidikan ilmu-ilmu sosial di tingkat sekolah. Pengertian ini juga dipakai sebagai dasar dalam dokumen “Statement of the Chairman of Commite on Social Studies” yang dikeluarkan oleh Comittee on Social Studies (CSS) tahun 1913. Dalam dokumen tersebut dinyatakan bahwa social studies sebagai specific field to utilization  of social sciences data as a force in the improvement of human welfare (bidang khusus dalam pemanfaatan data ilmu-ilmu sosial sebagai tenaga dalam memperbaiki kesejahteraan umat manusia). Upaya untuk melestarikan program social studies dalam kurikulum sekolah, maka beberapa pakar yang memiliki kepedulian terhadap pendidikan ilmu-ilmu sosial di tingkat sekolah mengembangkan social studies bisa diaplikasikan di tingkat sekolah dengan membentuk organisasi profesi social studies, akhirnya pada tahun 1921 berdirilah “National Council for the Social Studies “ atau disingkat ( NCSS ),  sebuah organisasi professional yang secara khusus membina dan mengembangkan social  studies  pada tingkat pendidikan dasar dan menengah, serta kaitannya dengan  disiplin ilmu – ilmu  sosial  dan disiplin ilmu pendidikan sebagai program pendidikan syntectic. (http ://haslindafadillah,blogspot.com/2010/11/makalah-pendidikan-ips.html(27 Sept 2011) diakses jam 20.44.wita.)


B.  Rumusan Masalah
Dengan latar belakang perkembangan kehadiran Social Studies diatas dan memandang perlunya pendidikan IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial) bagi warga negara sebagai apresiasi dari Social studies terus bertambah ke berbagai negara, terutama di Amerika Serikat, Inggris, dan berbagai Negara Eropa, dan kemudian berkembang ke negara Australia dan Asia termasuk Indonesia,  maka muncul pertanyaan mendasar dalam tulisan ini diantaranya : (1) Bagaimana perkembangan Social Studies atau Pendidikan IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial) dalam kurikulum pendidikan  di Indonesia? dan  (2) Landasan filosofis apa saja yang dipakai di Indonesia sebagai konsep dasar pendidikan IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial) dapat dijadikan konsep  kurikulum di tingkat jenjang persekolahan di Indonesia ?. Kedua permasalahan tersebut menjadi dasar permasalahan dalam tulisan ini.
C.  Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Landasan Pendidikan IPS MIPS 505 Progam Studi Magister Pendidikan IPS Program Pascasarjana Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin yang dibina oleh Bapak Dr. Herry Porda Nugroho Putro, M.pd. Selain itu tujuan penulisan ini adalah untuk mengenal, memahami dan mendalami hakekat konsep, pengertian, dasar filosofis dan proses belajar – mengajar IPS, sehingga akan bermanfaat ketika diaplikasikan  bertugas di lembaga pendidikan masing-masing.

BAB II
PEMBAHASAN
PERKEMBANGAN KURIKULUM  DAN PENDIDIKAN IPS DI INDONESIA
Perkembangan Social Studies Hingga Pendidikan IPS di Indonesia Setelah berdirinya National Council for the Social Studies (NCSS) pada tahun 1921 hanya bertugas sebagai organisasi yang idealnya memaksimalkan hasil-hasil pendidikan bagi tujuan kewarganegaraan yang sudah dicapai oleh CSS (Comitte on Social Studies ) tahun 1913 sebelumnya. Barulah pada tahun 1935 lahirlah kesepakatan yang dikeluarkan NCSS yang menegaskan “ Social Sciences as the core of the curriculum “ atau kurikulum IPS bersumber dari ilmu-ilmu sosial.
Perkembangan selanjutnya pengertian social studies yang berpengaruh pada abad ke-20 adalah mengenai definisi social studies yang dikemukakan oleh Edgar Wesley (1937) yang menyatakan “the social studies are the social sciences simplified for pedagogical purposes”. Definisi tersebut menjadi popular saat itu yang kemudian dijadikan definisi resmi mengenai social studies oleh “the united states of education’s standard terminology for curriculum and instruction” dengan demikian NCSS perlu membuat pekerjaan rumah tentang definisi resmi pula yang menghantarkan Social Studies sebagai kajian yang terintegrasi dan mencakup disiplin ilmu yang semakin luas, khususnya dalam bidang pendidikan dikemudian hari. Dalam perjalanan sejarah Indonesia setelah mencapai kemerdekaan pada tahun 1945, kurikulum pendidikan nasional telah mengalami perubahan, misalnya pada tahun 1947 kurikulum pada saat itu diberi nama Rentjana Pelajaran 1947. Kurikulum yang ada saat itu masih dipengaruhi sistem pendidikan kolonial Belanda dan Jepang, sehingga hanya meneruskan yang pernah digunakan sebelumnya. Rentjana Pelajaran 1947 boleh dikatakan sebagai pengganti sistem pendidikan kolonial Belanda. Keadaan kehidupan berbangsa saat itu masih dalam semangat juang mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia, dapat dikatakan bahwa pendidikan di awal kemerdekaan haruslah membangun semangat kebangsaan dan semangat patriotisme.
Konsep pendidikan yang essensial saat itu untuk SR (Sekolah Rakyat) adalah membaca, menulis dan berhitung. Mata pelajaran ilmu bumi diajarkan pada kelas 3, sejarah mulai diajarkan pada kelas 4, ilmu alam baru diajarkan pada kelas 5 dan kelas 6. Mata pelajaran di SMP seperti bahasa, ilmu pasti,pengetahuan alam, pengetahuan sosial, dan ekonomi. Siswa yang naik kelas III dikelompokan, kelas III A (kelompok sosial dan ekonomi) dan kelas III B (Kelompok Ilmu Pasti dan Pengetahuan Alam).
Tahun 1952 kurikulum di Indonesia diberi nama Rentjana Pelajaran Terurai 1952, kurikulum ini penyempurnaan dari kurikulum sebelumnya dan sudah mulai mengarah  pada suatu sistem pendidikan nasional. Kurikulum 1952 diarahkan pada setiap rencana pelajaran harus memperhatikan isi pelajaran yang dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari.
Tahun 1964 pemerintah Orde Lama kembali menyempurnakan kurikulum  pendidikan di Indonesia. Kurikulum tersebut dinamakan Rentjana Pendidikan 1964, pokok – pokok pikiran dalam kurikulum tersebut bahwa pemerintah mempunyai keinginan agar rakyat mendapatkan pengetahuan akademik untuk pembekalan pada jenjang Sekolah Dasar, sehingga pembelajaran dipusatkan pada program Pancawardhana, yaitu pengembangan moral, kecerdasan, emosional, artistik dan jasmani.
Kurikulum tahun 1968, merupakan kurikulum pembaharuan dari kurikulum tahun 1964, yakni perubahan struktur kurikulum pendidikan dari Pancawardhana menjadi pembinaan jiwa Pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Kurikulum 1968 merupakan perwujudan dari perubahan orientasi pada pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Kurikulum 1968 bertujuan bahwa pendidikan ditekankan pada upaya membentuk manusia Pancasila sejati, kuat dan sehat jasmani, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan jasmani, moral, budi pekerti, dan keyakinan beragama.Seiring dengan perkembangan masuknya istilah Social Studies ke dalam acuan kurikulum pendidikan di Indonesia di awal tahun 1970 –an telah ditawarkan konsep istilah tersebut. Pada pertemuan ilimiah dalam sebuah seminar Nasional Indonesia tentang Civic Education tahun 1972 di Tawangmangu Solo Jawa Tengah, dalam paparan seminar tersebut ditawarkanlah 3 (tiga) istilah untuk dimasukan dalam pendidikan kewarganegaraan di Indonesia. Pertama; Istilah Pengetahuan sosial; kedua, Studi Sosial (Social Studies) dan ketiga, Ilmu Pengetahuan Sosial.
1.      Aplikasi Pendidikan IPS dalam Kurikulum 1975 di Indonesia
Kurikulum 1975 adalah kurikulum pertama di Indonesia yang dikembangkan berdasarkan proses dan prosedur yang didasarkan pada teori pengembangan kurikulum. Meskipun demikian kurikulum 1975 masih dikembangkan berdasarkan pemikiran orientasi filosofis pendidikan keilmuan yang dominan dan tidak berorientasi kepada pembangunan, walaupun demikian tidaklah berarti kurikulum 1975 telah melepaskan diri dari npengaruh politik . (S. Hamid Hasan : 2006)  dimana situasi pemerintahan  saat itu awal pemerintahan Orde Baru.
Pada tahun 1972 – 1973 sudah pernah dilakukan uji coba pertama konsep IPS masuk dipersekolahan Indonesia diterapkan pada kurikulum Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP) IKIP Bandung. Kemudian secara resmi dalam kurikulum 1975 program pendidikan tentang masalah sosial dipandang tidak cukup diajarkan melalui pelajaran sejarah dan geografi saja, sehingga dilakukan reduksi mata pelajaran mulai tingkat Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas saat itu dimasukan mata pelajaran ilmu sosial serumpun atau sejenis digabung ke dalam mata pelajaran IPS. Oleh karena itu pemberlakuan istilah IPS (social studies) dalam kurikulum 1975 dapat dikatakan sebagai kelahiran IPS secara resmi di Indonesia. Upaya memasukan materi ilmu-ilmu sosial dan humaniora ke dalam kurikulum sekolah di Indonesia disajikan mata pelajaran dan bidang studi atau jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) secara resmi pada kurikulum 1975. Kurikulum tahun 1975 merupakan perwujudan dari perubahan sosial pada pelaksanaan UUD 1945 secara mnurni dan konsekuen, bertujuan bahwa pendidikan ditekankan pada upaya membentuk manusia Pancasila sejati, kuat, sehat jasmani, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan jasmani, moral, budi pekerti, dan keyakinan beragama.
Konsep Pendidikan IPS yang menginspirasi kurikulum 1975 yang menampilkan 4 (empat) profil, pertama; Pendidikan Moral Pancasila (PMP) menggantikan Kewarganegaraan sebagai bentuk pendidikan IPS khusus; Kedua, Pendidikan IPS terpadu untuk SD; Ketiga,  Pendidikan IPS terkonfederasi untuk SMP yang menempatkan IPS sebagai konsep Payung sejarah, geografi dan ekonomi koperasi; dan keempat ,  Pendidikan IPS terpisah-pisah yang mencakup mata pelajaran sejarah, ekonomi dan geografi untuk SMA, atau sejarah dan geografi untuk SPG, dan IPS (ekonomi dan sejarah) untuk SMEA / SMK.
2.      Aplikasi Pendidikan IPS kurulum 1984 di Indonesia
Konsep pendidikan IPS dalam pelaksanaan kurikulum 1984 yang secara konseptual merupakan penyempurnaan  dari kurikulum 1975, khususnya dalam aktualisasi materi, masuknya konsep P-4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) sebagai materi pokok PMP (Pendidikan Moral Pancasila). Pada kurikulum 1984, PPkn merupakan mata pelajaran sosial khusus yang wajib diikuti semua siswa di SD, SMP dan SMU. Sedangkan mata pelajaran IPS diwujudkan dalam (1) Pendidikan IPS terpadu di SD kelas I s.d. VI; (2) Pendidikan IPS terkonfederasi di SLTP yang mencakup geografi, sejarah, dan ekonomi koperasi; (3) Pendidikan IPS terpisah di SMU yang meliputi Sejarah Nasional dan Sejarah Umum di kelas I dan II; Ekonomi dan Geografi di kelas I dan II; Sejarah Budaya di kelas III program IPS.
3.      Definisi Social Studies dari NCSS   tahun 1993.
Sejalan dengan perkembangan kurikulum di Indonesia dan perkembangan zaman di negara maju khususnya di Amerika Serikat dan negara – Negara  Eropa, serta berkembangnya program pendidikan dan pengajaran Social Studies (pendidikan IPS) yang masuk dalam kurikulum pendidikan nasional di negara-negara berkembang, termasuk di Indonesia yang sedang menjalankan kurikulum 1984, maka pada tahun 1993 National Council for the Social Studies (NCSS) mengeluarkan definisi resmi yang membawa  social studies sebagai kajian yang terintegrasi dan  mencakup ilmu yang semakin luas.
NCSS (National Council for the Social Studies) pada tahun 1993 merumuskan definisi Social Studies sebagai berikut :
“Studi sosial adalah studi terintegrasi dari ilmu-ilmu sosial dan humaniora untuk mempromosikan  kompetensi sipil. Dalam program sekolah, studi sosial menyediakan terkoordinasi, studi sistematis menggambarkan atas disiplin ilmu seperti antropologi, arkeologi, ekonomi, geografi, sejarah, hukum, filsafat, ilmu politik, psikologi, agama dan sosiologi, serta konten yang sesuai dari humaniora, matematika , dan ilmu alam. Tujuan utama dari ilmu sosial adalah untuk membantu kaum muda membuat informasi dan keputusan beralasan untuk kepentingan publik sebagai warga masyarakat, budaya beragam demokrasi di dunia yang saling bergantung.”
NCSS menekankan pentingnya pendidikan bagi siswa yang berkomitmen untuk ide-ide dan nilai-nilai demokrasi, siswa akan terlibat dalam proses intelektual yang aktif pada kehidupan di masyarakat. Siswa sebagai warga masyarakat untuk menggunakan kemampuan pengetahuan mereka dalam memecahkan masalah-masalah dalam kehidupan. NCSS memaparkan kurikulum standar untuk studi sosial menyediakan kerangka kerja yang dimusyawarahkan secara professional. NCSS pertamakali menerbitkan standar kurikulum nasional pada tahun 1994. Sejak saat itu standar kurikulum banyak digunakan diberbagai negara sebagai kerangka kerja bagi guru dan sekolah – sekolah untuk menyelaraskan kurikulum dan pembangunan dalam bidang pendidikan.
4.      Perkembangan kurikulum sejak 1994, 2004 dan 2006 di Indonesia
Para pakar pendidikan dan ahli ilmu-ilmu sosial di Indonesia mulai serius terhadap pendidikan IPS sebagai program pendidikan di tingkat sekolah, sehingga upaya  memasukan ilmu-ilmu sosial ke dalam kurikulum sekolah agar lebih jelas lagi. Mengingat tidak semua disiplin ilmu-ilmu sosial bisa masuk ke dalam kurikulum sekolah dan bisa diajarkan di tingkat sekolah, maka penyajian ilmu sosial disatukan atau secara terintegrasi atau interdisipliner ke dalam kurikulum Pendidikan IPS (social studies).
Program pendidikan dasar dan menengah (SD – SMP) penyajiannya terpadu penuh, untuk pembelajaran IPS ditingkat SMA/ MA dan SMEA  penyajiannya secara terpisah antar cabang ilmu-ilmu sosial, tetapi selalu memperhatikan keterhubungannya antara ilmu sosial yang satu dengan yang lainnya, terutama jurusan IPS di SMA atau SMEA. Sementara pada tingkat perguruan tinggi pendidikan ilmu-ilmu sosial disajikan secara terpisah atau fakultas, seperti Fakultas Ekonomi, Fakultas Hukum, Fisip. Namun untuk Pendidikan IPS di FKIP / IKIP/STIKIP yang mempersiapkan calon guru, maka akan diberikan secara interdisipliner dan juga disipliner. Interdisipliner dimaksudkan adalah karena ilmu yang diperoleh calon guru tersebut nantinya untuk program pembelajaran untuk usia anak sekolah, dan secara disipiliner adalah ditujukan kepada calon guru tersebut sebagai guru nantinya yang menguasai ilmu yang diajarkan.
Kurikulum 1994 dilaksanakan secara bertahap mulai tahun ajaran 1994 -1995 merupakan pembenahan atas pelaksanaaan kurikulum 1984 setelah memperhatikan tuntutan perkembangan dan keadaan masyarakat saat itu, khususnya yang menyangkut perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan seni. Demikian juga kebutuhan pembangunan dan gencarnya arus globalisasi, dan evaluasi pelaksanaan kurikulum 1984 itu sendiri. Upaya pembaharuan kurikulum pendidikan nampak saat diadakan serangkaian Rapat Kerja Nasional Depdikbud tahun 1986 sampai dengan 1989.
Pembenahan kurikulum ini didorong oleh amanat GBHN 1988 intinya antara lain :
a.       perlunya diteruskan upaya peningkatan mutu pendidikan di berbagai jenis dan jenjang pendidikan;
b.      perlunya persiapan perluasan wajib belajar pendidikan dasar dari enam tahun menjadi sembilan tahun dan
c.       perlunya segera dilahirkan undang-undang yang mengatur tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Pada tahun 2004, pemerintah Indonesia melakukan perubahan kurikulum kembali yang dikenal dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Namun pengembangan kurikulum IPS diusulkan menjadi Pengetahuan Sosial untuk merespon secara positif berbagai perkembangan informasi, ilmu pengetahuan dan teknologi. Pembaharuan kurikulum Pendidikan IPS Tahun 2004 berbasis kompetensi atau dikenal Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) menghendaki pelaksanaan program Pendidikan IPS yang powerful, hal tersebut dicirikan oleh pengembangan program Pendidikan IPS yang bermakna, integratif, berbasis nilai, menantang dan menerapkan prinsip belajar aktif. Pendidikan IPS bertujuan meningkatkan kecakapan hidup (life skills) siswa untuk menjadi kompetensi yang dapat digunakan dalam kehidupan sosial bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pendidikan IPS menurut konsep Kurikulum 2004 yang berbasis kompetensi (KBK) hakekatnya Pendidikan IPS  sebagai pendidikan kewarganegaraan, pendidikan ilmu-ilmu sosial , pendidikan inquiri reflektif,  pembelajaran terpadu, dan pendidikan partisipasi sosial. Dalam pelaksanaannya, pembelajarannya, pengembangan sumber dan materinya, serta penilainnya haruslah berbasis pada pendekatan konstruktivisme yang memusatkan siswa sebagai subjek yang membangun dan mengembangkan pengetahuan dan kompetensinya secara mandiri.
Pelaksanaan Kurikulum 2006 atau dikenal dengan sebutan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)  mengacu pada standar nasional pendidikan; standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaaan, pembiayaan dan penilaian pendidikan. Salah satu dari delapan standar nasional pendidikan tersebut adalah Standar Isi (SI) merupakan acuan utama bagi satuan pendidikan dalam mengembangkan kurikulum disamping Standar Kompetensi Lulusan (SKL).


LANDASAN FILOSOFIS PENDIDIKAN IPS DALAM KURIKULUM
PENDIDIKAN DI INDONESIA

Bangsa Indonesia  dilihat dari latar belakang etnik atau kesukuan merupakan sebaran suku-suku bangsa yang mendiami wilayah Indonesia dengan disatukan sebagai bangsa yang mempunyai latar belakang keaneka ragaman bahasa daerah, budaya dan kearifan lokal yang dimiliki masing-masing etnik. Secara keseluruhan bangsa Indonesia saat ini dikenal sebagai bangsa yang majemuk atau heterogenitas multi etnik yang merupakan bagaian dari masyarakat yang pluralistik. Dengan kemajemukan masyarakat tersebut pendidikan dan pengajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) memiliki peran yang strategis baik ditinjau dari segi akademik maupun kepentingan kehidupan berbangsa dan bernegara. Dilihat dari sisi akademik pendidikan dan pengajaran IPS dapat membekali anak didik atau siswa pada pemahaman konsep-konsep dasar ilmu –ilmu sosial sebagai basis dari pendidikan dan pengajaran IPS di jenjang lembaga pendidikan atau persekolahan. Melalui pendidikan dan pengajaran IPS siswa diharapkan memiliki bakat dan minat terhadap ilmu-ilmu sosial dan dapat memecahkan persoalan-persoalan yang riil ketika mereka tamat pada jenjang persekolahan tertentu dan dapat hidup berinteraksi dalam lingkungan masyarakat sebagai insan pembangunan bangsa yang memiliki moral, pekerti yang baik dan mandiri. Keberehasilan pendidikan dan pengajaran IPS akan dapat memberikan kontribusi yang besar terhadap pembangunan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pendidikan dan pengajaran IPS di Indonesia sudah mendapatkan landasan hukum yang kuat sebagaimana tertuang pada Bab III Pasal 2  UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Republik Indonesia yang menegaskan bahwa : ” Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermanfaat dalam rangka mencerdasakan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab”. Dengan dasar tersebut diatas pada kurikulum pendidikan dan pengajaran dibawah naungan Pendidikan Nasional terdapat kebijakan kurikulum mata pelajaran IPS , misalnya Permendiknas Nomor 22 tahun 2006 tentang standar isi satuan Pendidikan dasar dan Menengah, sedangkan untuk lembaga pendidikan tinggi melalui surat Dirjen Dikti Nomor 30/DIKTI/KEP/2003, telah ditetapkan rambu-rambu pelaksanaan kelompok mata kuliah berkehidupan bermasyarakat di Pergurtuan Tinggi. Untuk Pendidikan dan Pengajaran IPS pada satuan Pendidikan Dasar (SD/MI dan SMP/Mts) diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005, termasuk didalamnya kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian, pengajaran pada satuan pendidikan IPS diberikan secara terpadu. Pada tingkat SMA/MA pelajaran IPS bermuatan akademis dan masuk pada kelompok mata pelajaran Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.


Kajian Teoritis Landasan Filosofis Kurikulum Pendidikan IPS
Pengembangan suatu kurikulum haruslah memiliki landasan filosofis, dimaksudkan agar memiliki arah dan tujuan yang jelas dalam implimentasinya. Filsafat pendidikan mengandung suatu nilai-nilai atau cita-cita masyarakat, berdasarkan cita-cita tersebut terdapat sebuah landasan, yang tidak lain mau dibawa kemana arah pendidikan anak didik tersebut. Dengan kata lain filsafat pendidikan merupakan pandangan hidup masyarakat.
Filsafat pendidikan menjadi landasan untuk merancang tujuan pendidikan, prinsif – prinsif  pembelajaran, serta perangkat pengalaman belajar yang bersifat mendidik. Filsafat pendidikan dipengaruhi oleh dua hal pokok (1) Cita-cita masyarakat dan (2) kebutuhan peserta didik yang hidup dalam masyarakat. Nilai-nilai filsafat Pendidikan harus dilaksanakan dalam prilaku kehidupan sehari-hari. Dari sekian banyak alternatif landasan utama dalam mengembangkan kurikulum pendidikan salah satunya adalah Landasan Filosofis.
Secara teoritis terdapat beberapa pandangan filosofis kurikulum, Landasan Filosofis sebagaimana dipaparkan dalam “Naskah Akademik Kajian Kebijakan Kurikulum  Mata Pelajaran IPS” Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum 2007, Depdiknas RI dirincikan sebagai berikut :



1.      Esensialisme
Esensialisme; adalah aliran yang menggariskan  bahwa kurikulum harus menekankan pada penguasaan ilmu. Aliran ini berpandangan bahwa, pendidikan pada dasarnya adalah pendidikan keilmuan. Kurikulum yang dikembangkan dalam aliran esensialisme adalah kurikulum disiplin ilmu. Tujuan dari aliran esensialisme adalah menciptakan intelektualisme. Proses belajar-mengajar yang dikembangkan adalah siswa harus memiliki kemampuan penguasaan disiplin ilmu. Penerapan pembelajaran ini lebih banyak berperan pada guru jika dibandingkan dari siswa. Sekolah yang baik dalam pandangan filsafat esensialisme adalah sekolah yang mampu mengembangkan intelektualisme siswa. Implementasi mata pelajaran IPS menurut aliran esensialisme akan lebih menekankan IPS pada aspek kognitif (pengetahuan) jika dibandingkan dengan aspek afektif (sikap). Siswa belajar IPS akan lebih berorientasi pada pemahaman konsep-konsep IPS daripada penerapan materi yang ada pada IPS bagi kehidupan sehari-hari.
2.      Perenialsme
Perenialsme; adalah aliran yang memandang , bahwa sasaran yang harus dicapai oleh pendidikan adalah kepemilikan atas prinsip-prinsip tentang kenyataan, kebenaran dan nilai yang abadi, serta tidak terkait oleh ruang dan waktu. Dalam pandangan aliran Perenialisme kurikulum akan menjadi sangat ideologis karena dengan pandangan-pandangan ini menjadikan siswa atau peserta didik sebagai warga Negara yang memiliki pengetahuan, keterampilan dan sikap yang diinginkan oleh Negara. Pandangan perenialisme lebih menekankan pada Transfer Budaya (transfer of culture), seperti dalam Implementasinya pada  kurikulum IPS yang bertujuan pada pengembangan dan pembangunan jati diri bangsa peserta didik dalam rangka menuju tercapainya  integrasi bangsa. Aliran ini juga dikenal menekankan pada kebenaran yang absolut, kebenaran universal yang tidak terikat pada ruang dan waktu, aliran ini lebih berorientasi ke masa lalu.
3.      Progresivisme
Progresivisme; adalah aliran ini memandang bahwa sekolah memiliki tujuan yakni kecerdasan yang praktis dan membuat siswa lebih efektif dalam memecahkan berbagai masalah yang disajikan oleh guru atau pendidik. Masalah tersebut biasanya ditemukan berdasarkan pengalaman siswa. Pembelajaran yang harus dikembangkan oleh aliran Progresivisme adalah memperhatikan kebutuhan individual yang dipengaruhi oleh latar belakang sosial-budaya dan mendorong untuk berpartisipasi aktif sebagai warga Negara dewasa, terlibat dalam pengambilan keputusan, dan memiliki kemampuan dalam memecahkan masalah pada kehidupan sehari-hari. Implementasi IPS dalam pandangan aliran filsafat Progresivisme adalah bagaimana mata pelajaran IPS mampu membekali  kepada siswa agar dapat memecahkan permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-harinya, misalnya kemiskinan, pengangguran, kebodohan, ketertinggalan, kenakalan remaja atau narkoba dan lainnya.


4.      Rekonstruksionisme
Rekonstruksionisme; adalah aliran ini berpendapat  bahwa sekolah harus diarahkan kepada pencapaian tatanan demokrasi yang mendunia. Aliran filsafat ini menghendaki agar setiap individu dan kelompok tanpa mengabaikan nilai-nilai masa lalu, mampu mengembangkan pengetahuan, teori, atau pandangan tertentu yang paling relevan dengan kepentingan mereka melalui pemberdayaan peserta didik dalam proses pembelajaran guna memproduksipengetahuan baru. Dalam pandangan aliran filsafat ini lebih menekankan agar siswa dalam pembelajaran mampu menemukan (inquiri), penemuan yang bersifat informasi baru bagi siswa berdasarkan bacaan yang ia lakukan. Pembelajaran lebih ditekankan pada proses bukan hasilnya. Aktivitas siswa menjadi perioritas utama dalam berlangsungnya pembelajaran. Dalam implementasi pembelajaran IPS , misalnya siswa mempelajari fakta-fakta disekelilingnya, berdasarkan fakta tersebut siswa menemukan definisi mengenai sesuatu, tanpa harus didefinisikan terlebih dahulu oleh guru. Misalnya dalam pelajaran ekonomi diperkenalkan adanya fakta orang-orang yang mekakukan kegiatan jual – beli. Setelah melihat aktivitas orang-orang tersebut akhirnya siswa menemukan definisi mengenai penjualan, pembelian, penawaran, pasar, uang dan lainnya dalam aktivitas jual-beli. Dengan demikian guru tidak menjelaskan atau membuat definisi, tetapi dari fakta-fakta tersebut siswalah yang aktif melihat fakta dan dapat mendifinisikannya.


BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Perkembangan istilah atau nama Social Studies pertama kali dimasukan secara resmi  kedalam   kurikulum sekolah  Rugby di Inggris  pada tahun 1827,  Dr. Thomas Arnold direktur  sekolah  tersebut  adalah  orang  pertama yang  berjasa  memasukan Social Studies kedalam kurikulum sekolah.  Pada awal abad ke – 20 sebuah Komite Nasional dari The National Education Assciation memberikan rekomendasi tentang perlunya social studies dimasukan ke dalam kurikulum sekolah dasar dan sekolah menengah di Amerika Serikat. Tahun 1921 berdirilah “National Council for the Social Studies “ atau disingkat ( NCSS ),  sebuah organisasi professional yang secara khusus membina dan mengembangkan social  studies  pada tingkat pendidikan dasar dan menengah, serta kaitannya dengan  disiplin ilmu – ilmu  sosial  dan disiplin ilmu pendidikan sebagai program pendidikan syntectic. Pada pertemuan ilimiah dalam sebuah seminar Nasional Indonesia tentang Civic Education tahun 1972 di Tawangmangu Solo Jawa Tengah, dalam paparan seminar tersebut ditawarkanlah 3 (tiga) istilah untuk dimasukan dalam pendidikan kewarganegaraan di Indonesia. Pertama; Istilah Pengetahuan sosial; kedua, Studi Sosial (Social Studies) dan ketiga , Ilmu Pengetahuan Sosial.
Pada tahun 1972 – 1973 sudah pernah dilakukan uji coba pertama konsep IPS masuk dipersekolahan Indonesia diterapkan pada kurikulum proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP) IKIP Bandung. Kemudian secara resmi dalam kurikulum 1975 program pendidikan tentang masalah sosial dipandang tidak cukup diajarkan melalui pelajaran sejarah dan geografi saja, sehingga dilakukan reeduksi mata pelajaran mulai tingkat Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas saat itu dimasukan mata pelajaran ilmu social serumpun atau sejenis digabung ke dalam mata pelajaran IPS. Oleh karena itu perberlakuan istilah IPS (social studies) dalam kurikulum 1975 dapat dikatakan sebagai kelahiran IPS secara resmi di Indonesia. Tahun 1993 National Council for the Social Studies (NCSS) mengeluarkan definisi resmi yang membawa  social studies sebagai kajian yang terintegrasi dan  mencakup ilmu yang semakin luas.  NCSS memaparkan kurikulum standar untuk studi sosial menyediakan kerangka kerja yang dimusyawarahkan secara professional. NCSS pertamakali menerbitkan standar kurikulum nasional pada tahun 1994. Sejak saat itu standar kurikulum banyak digunakan diberbagai negara sebagai kerangka kerja bagi guru dan sekolah – sekolah untuk menyelaraskan kurikulum dan pembangunan dalam bidang pendidikan. Kurikulum 1994 dilaksanakan secara bertahap mulai tahun ajaran 1994 -1995 merupakan pembenahan atas pelaksanaaan kurikulum 1984 setelah memperhatikan tuntutan perkembangan dan keadaan masyarakat saat itu, khususnya yang menyangkut perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan seni. Pembenahan kurikulum ini didorong oleh amanat GBHN 1988 intinya antara lain  a) perlunya diteruskan upaya peningkatan mutu pendidikan di berbagai jenis dan jenjang pendidikan; (b) perlunya persiapan perluasan wajib belajar pendidikan dasar dari enam tahun menjadi sembilan tahun dan (c) perlunya segera dilahirkan undang-undang yang mengatur tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Pada tahun 2004, pemerintah Indonesia melakukan perubahan kurikulum kembali yang dikenal dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Namun pengembangan kurikulum IPS diusulkan menjadi Pengetahuan Sosial untuk merespon secara positif berbagai perkembangan informasi, ilmu pengetahuan dan teknologi. Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) menghendaki pelaksanaan program Pendidikan IPS yang powerful, hal tersebut dicirikan oleh pengembangan program Pendidikan IPS yang bermakna, integratif, berbasis nilai, menantang dan menerapkan prinsip belajar aktif. Pendidikan IPS bertujuan meningkatkan kecakapan hidup (life skills) siswa untuk menjadi kompetensi yang dapat digunakan dalam kehidupan sosial bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pelaksanaan Kurikulum 2006 atau dikenal dengan sebutan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)  mengacu pada standar nasional pendidikan; standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaaan, pembiayaan dan penilaian pendidikan. Salah satu dari delapan standar nasional pendidikan tersebut adalah Standar Isi (SI) merupakan acuan utama bagi satuan pendidikan dalam mengembangkan kurikulum disamping Standar Kompetensi Lulusan (SKL).
Secara teoritis terdapat beberapa pandangan filosofis kurikulum, Landasan Filosofis sebagaimana dipaparkan dalam “Naskah Akademik Kajian Kebijakan Kurikulum  Mata Pelajaran IPS ” Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum Tahun 2007, Depdiknas RI dirincikan sebagai berikut  berikut :
pertama; Esensialisme; adalah aliran yang menggariskan  bahwa kurikulum harus menekankan pada penguasaan ilmu Tujuan dari aliran esensialisme adalah menciptakan intelektualisme Sekolah yang baik dalam pandangan filsafat esensialisme adalah sekolah yang mampu mengembangkan intelektualisme siswa.
kedua Perenialsme; adalah aliran yang memandang , bahwa sasaran yang harus dicapai oleh pendidikan adalah kepemilikan atas prinsip-prinsip tentang kenyataan, kebenaran dan nilai yang abadi, serta tidak terkait oleh ruang dan waktu. Dalam pandangan aliran Perenialisme kurikulum akan menjadi sangat ideologis karena dengan pandangan-pandangan ini menjadikan siswa atau peserta didik sebagai warga Negara yang memiliki pengetahuan, keterampilan dan sikap yang diinginkan oleh Negara.
Ketiga;  Progresivisme; adalah aliran ini memandang bahwa sekolah memiliki tujuan yakni kecerdasan yang praktis dan membuat siswa lebih efektif dalam memecahkan berbagai masalah yang disajikan oleh guru atau pendidik. aliran Progresivisme adalah memperhatikan kebutuhan individual yang dipengaruhi oleh latar belakang sosial-budaya dan mendorong untuk berpartisipasi aktif sebagai warga Negara dewasa, terlibat dalam pengambilan keputusan, dan memiliki kemampuan dalam memecahkan masalah pada kehidupan sehari-hari. Implementasi IPS dalam pandangan aliran filsafat Progresivisme adalah bagaimana mata pelajaran IPS mampu membekali  kepada siswa agar dapat memecahkan permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-harinya, misalnya kemiskinan, pengangguran, kebodohan, ketertinggalan, kenakalan remaja atau narkoba dan lainnya.
Keempat; Rekonstruksionisme; adalah aliran ini berpendapat  bahwa sekolah harus diarahkan kepada pencapaian tatanan demokrasi yang mendunia. Aliran filsafat ini menghendaki agar setiap individu dan kelompok tanpa mengabaikan nilai-nilai masa lalu, mampu mengembangkan pengetahuan, teori, atau pandangan tertentu yang paling relevan dengan kepentingan mereka melalui pemberdayaan peserta didik  dalam proses pembelajaran guna memproduksipengetahuan baru. Dalam pandangan aliran filsafat ini lebih menekankan agar siswa dalam pembelajaran mampu menemukan (inquiri), penemuan yang bersifat informasi baru bagi siswa berdasarkan bacaan yang ia lakukan. Pembelajaran lebih ditekankan pada proses bukan hasilnya. Aktivitas siswa menjadi perioritas utama dalam berlangsungnya pembelajaran.
Saran – Saran
Guru IPS harus berperan aktif dalam tatanan kerja dimana saat ini sedang  dalam kemajuan belajar melalui Informasi  Teknologi, paling tidak guru IPS harus dipertautkan kembali dalam keterlibatan filosofis atau filsafat yang berkembang khususnya dalam bidang pendidikan. Ada dua aliran filsafat ekstreminitas ; pertama sikap reaksioner ; adalah aliran yang paling hati-hati dan takut kepada pembaharuan; dan kedua sikap Radikal ;adalah sikap paling keranjingan  atau mendukung pembaharuan. Dengan dua sikap ekstreminitas diatas, maka guru IPS dalam pendekatan pribadi dapat menempati salah satu  titik utama  yang terletak diantara dua ekstreminitas tersebut. Agar jangan sampai dinilai oleh siswa sebagai guru yang kolot dan ketinggalan, sebaiknya guru atau pengajar harus banyak belajar seiring dengan kemajuan Informasi dan teknologi, karena perkembangan informasi Global membuka seluas-luasnya pelajaran di dunia maya, internet dan media massa, paling tidak guru mampu mengimbangi proses-belajar mengajar dengan memanfaatkan  peralatan teknologi sebagai alat pengajaran.














DAFTAR PUSTAKA
Ansori, A., 2011. 52 Kajian Kebijakan Kurikulum Ips. [Online]. Tersedia  :http://www.slideshare.net/Dwijosusilo/52-kajian-kebijakan-kurikulum-ips [24 September 2011. Jam 18.04 WITA]
Ardhian, T., 2011. Landasan Kurikulum IPS. [Online]. Tersedia  : http://trioardhian.blogspot.com/2011/05/landasan-kurikulum-ips.html [30 sept 2011 diakses jam 16.50 wita]
Bambang A. Soekisno, R., 2007. Bagaimanakah Perjalanan Kurikulum Nasional (pada Pendidikan Dasar dan Menengah) ?. [Online]. Tersedia  : http://rbaryans.wordpress.com/2007/05/16/bagaimanakah-perjalanan-kurikulum-nasional-pada-pendidikan-dasar-dan-menengah/ [30 Sept 2011 diakses jam 15.03 wita]
Daldjoeni, N., 1992. Dasar –dasar Ilmu Pengetahuan Sosial, Bandung : Penerbit Alumni
Depdiknas, 2007. Naskah Akdemik Kajian Kebijakan Kurikulum Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) Departemen Pendidikan Nasional Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum 2007. Jakarta: Depdiknas.
Gunawan, 2009. Filosofi Dasar dalam Pengembangan Kurikulum Sekolah. [Online]. Tersedia  : http://bloggersumut.net/pendidikan/filosofi-dasar-dalam-pengembangan-kurikulum-sekolah [30 Sept 2011 diakses jam 15.10 wita]
Haslinda, 2010. Makalah Pendidikan IPS. [Online]. Tersedia  : (http ://haslindafadillah,blogspot.com/2010/11/makalah-pendidikan-ips.html [27 Sept 2011 diakses jam 20.44.wita]
Liewie, 2009. Filosofi Pendidikan. [Online]. Tersedia  : http: //id.shvoong.com/humanities/philosophy/1947159-filosofi-pendidikan/ [27 September 2011 diakses jam 16.40 Wita]
NCSS, 2000. National Standar for Social Studies Teachers :Executive Summary. [Online]. Tersedia  : http://www.socialstudies.org/standards/execsummary [30 Sept 2011 diakses jam 10.34 wita]
Rijono, 2008. Kurikulum 2004 (KBK) & Kurikulum 2006 (KTSP) Memang Berbeda Secara Signifikan. [Online]. Tersedia  : http://rijono.wordpress.com/2008/02/28/kurikulum-2004-kbk-kurikulum-2006-ktsp-memang-berbeda-secara-signifikan/ [30 Sept 2011 diakses jam 14.38 wita]
Sukadi, 2004. Pendidikan IPS yang Powerful dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi. Laporan Penelitian.Singaraja: IKIP negeri Singaraja.

Kamis, 11 Oktober 2012

makalah kemantapan teori,pola berpikir induktif dan deduktif


BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang

1.      Kemantapan Teori

Kemantapan Teori Secara umum teori diartikan sebagai pendapat. Sedangkan dalam pengertian khusus, teori hanya digunakan dalam lingkungan ilmu atau biasa disebut teori ilmiah. Dalam pengertian khusus ini, Kerlinger (1973:9) menyatakan bahwa :A theory is a set of interrelated constructs (concepts), definitions, and propositions that present a systematic view of phenomena by specifying relations among variables, with the purpose of explaning and predicting the phenomena.”Di dalam definisi ini terkandung tiga konsep penting. Pertama, suatu teori adalah satu set proposisi yang terdiri atas konsep-konsep yang berhubungan. Kedua, teori memperlihatkan hubungan antarvariabel atau antar konsep yang menyajikan suatu pandangan yang sistematik tentang fenomena. Ketiga, teori haruslah menjelaskan variabelnya dan bagaimana variabel itu berhubungan.
Teori mempunyai hubungan yang erat dengan penelitian dan juga dapat meningkatkan arti dari penemuan penelitian. Tanpa teori, penemuan tersebut akan merupakan keterangan-keterangan empiris yang berpencar. Makin banyak penelitian yang dituntun oleh teori, maka makin banyak pula kontribusi penelitian yang secara langsung dapat mengembangkan ilmu pengetahuan (disarikan dari Moh. Nazir, 1983:22-25).

2.      Penalaran Deduktif dan Induktif
Penalaran adalah proses berpikir yang bertolak dari pengamatan indera (observasi empirik) yang menghasilkan sejumlah konsep dan pengertian. Berdasarkan pengamatan yang sejenis juga akan terbentuk proposisi – proposisi yang sejenis, berdasarkan sejumlah proposisi yang diketahui atau dianggap benar, orang menyimpulkan sebuah proposisi baru yang sebelumnya tidak diketahui. Proses inilah yang disebut menalar. Dalam penalaran, proposisi yang dijadikan dasar penyimpulan disebut dengan premis (antesedens) dan hasil kesimpulannya disebut dengan konklusi (consequence).
Penalaran adalah suatu proses berfikir dalam menarik suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan. Ciri pertama adalah proses berpikir logis, dimana berpikir logis diartikan sebagai kegiatan berpikir menurut pola tertentu atau dengan kata lain menurut logika tertentu. Ciri yang kedua adalah sifat analitik dari proses berpikirnya. Dalam makalah telah dikemukakan dasar-dasar bagi jalan pikiran atau proses penalaran sebagai landasan bagi argumentasi.dasar-dasar itu meliputi pengertian inferensi, implikasi, evidensi, dan cara menilai fakta dan evidensi utuk dipergunakan dalam sebuah argumentasi.
Proses penalaran atau jalan pikiran manusia pada hakikatnya sangat kompleks dan rumit, dan dapat terdiri dari suatu mata rantaievidensi dan kesimpulan-kesimpulam.karena kekompleksan dan kerumitan itulah maka tidak mengherankan bila ahli-ahli logika dan psikolog tidak selalu sepakat mengenai beberapa unsur dari proses penalaran itu.

B.  Rumusan Masalah
1.      Apakah yang membuat kemantapan teori erat hubungannya dengan suatu penelitian.?
2.      Jenis penalaran apakah yang bertolak dari pengamatan indra (observasi empirik)
C.  Tujuan Makalah
Agar dapat mengetahui macam- macam penalaran berdasarkan pola pikir dari berbagai pendapat para ahli, serta mengetahui tentang bagaimana pemikiran yang bersifat induktif dan deduktif.
D.  Manfaat Penulisan
1.      Mahasiswa dapat memperluas wawasan tentang arti penalaran atau teori dan dapat mengetahui pola berpikir induktif dan diduktif serta dapat menerapkannya dikehidupan.
2.      Guru, dapat menjelaskan berbagai macam teori yang telah dikembangkan oleh para ahli,
3.      Unlam, menambah referinsi buku yang menyangkut tentang macam- macam teori, dan berpikir induktif dan deduktif.





BAB II
TINJAUAN TEORI

Berpikir merupakan manipulasi atau organisasi unsur-unsur lingkungan dengan menggunakan lambing-lambang sehingga tidak perlu langsung melakukan kegiatan yang tampak (Floyd L. Ruch dlm bukunya yg klasik, Psychology and Life (1976)).
Menurut Paul Mussen dan Mark R. Rosenzweig, “The term ‘thinking’ refers to many kind of activities that involve the manipulation of concept and symbols, representation of objects and event” (1973). Jadi, berpikir menunjukkan berbagai kegiatan yang melibatkan penggunaan konsep dan lambang, sebagai pengganti objek dan peristiwa. Jelas berpikir melibatkan penggunaan lambing, visual atau grafis. Tetapi untuk apa orang berpikir? Berpikir kita lakukan untuk memahami realitas dalam rangka mengambil keputusan (decision making), memecahkan persoalan (problem solving), dan menghasilkan yang baru (creativity). Memahami relitas berarti menarik kesimpulan, meneliti berbagai kemungkinan penjelasan dari realitas eksternal dan internal. Sehingga dengan singkat, Anita Taylor et al. Mendefinisikan berpikir sebagai proses penarikan kesimpulan. Thinking is a inferring process (Taylor et al. 1977).
Menurut para ahli filsafat ilmu pengetahuan, bahwa sejatinya ‘tidak semua kegiatan berpikir (penalaran) manusia mendasarkan pada penalaran ilmiah (deduktif atau induktif)’. Ada juga kegiatan berpikir manusia berdasarkan:
1.      perasaan, emosi yang sering disebut ‘intuisi’. Kegiatan berpikir secara intuisi sering disebut berpikir secara nonanalitik;
2.      wahyu’, atau firman Tuhan dalam proses ibadah atau kegiatan-kegiatan sosial-budaya sehari-hari. Jadi, berdasarkan ‘hakikat proses usaha’ manusia dalam memperoleh ilmu pengetahuan, maka pengetahuan yang berkembang di masyarakat dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
a.       pengetahuan sebagai hasil produk pikiran analitik dan nonanalitik manusia;
b.      pengetahuan sebagai pemberian ‘wahyu’ dari Tuhan. Hal ini sering disebut ‘pengetahuan agama’ (Suriasumantri, 1998; Hanafi, H., 2004).
Manusia adalah satu-satunya makhluk yang memiliki kemampuan untuk berpikir (homo thinking), makhluk yang mampu membangun atau mengembangkan potensi rasa dan karsa (emosional quition); dan makhluk yang mampu membangun kualitas kedekatan pata Tuhan (spiritual quation) (Muthahhari, M.. 1997; Tafsir, A. 2007). Jadi, manusia adalah makhluk ‘multi dimensional’, dengan segala kemampuan yang dimiliki manusia mampu mengembangkan ilmu pengetahuan, dan ilmu pengetahuan itulah yang menjadi senjata pamungkas bagi manusia dalam mengusai atau memberdayakan alam seisinya. Kemampuan multidimensi tersebut, menyebabkan manusia mampu mengembangkan beragam ilmu pengetahuan atau kebudayaan yang kompleks menuju keunggulan hidup (civilization).
Ismaun (2001:32) mengemukakan bahwa teori adalah pernyataan yang berisi kesimpulan tentang adanya keteraturan subtantif. Menemukan keteraturan itulah tugas ilmuwan, dan dengan kemampuan kreatif rekayasanya, ilmuwan dapat membangun keteraturan rekayasa. Keteraturan rekayasa ini dapat dibedakan dalam tiga keteraturan, yaitu : (1) keteraturan alam, (2) keteraturan kehidupan sosial manusia dan (3) keteraturan rekayasa teknologi.




BAB III
PEMBAHASAN

A.    Teori
Teori yang dirumuskan untuk menjelaskan, memprediksi, dan memahami fenomena dan, dalam banyak kasus, untuk menantang dan memperluas pengetahuan yang ada, dalam batas-batas asumsi melompat-lompat kritis.  Kerangka teoritis adalah struktur yang dapat menahan atau mendukung teori studi penelitian.  Kerangka teoritis memperkenalkan dan menjelaskan teori yang menjelaskan mengapa masalah penelitian yang diteliti ada.
Teori adalah serangkaian bagian atau variabel, definisi, dan dalil yang saling berhubungan yang menghadirkan sebuah pandangan sistematis mengenai fenomena dengan menentukan hubungan antar variabel, dengan menentukan hubungan antar variabel, dengan maksud menjelaskan fenomena alamiah. Labovitz dan Hagedorn mendefinisikan teori sebagai ide pemikiran “pemikiran teoritis” yang mereka definisikan sebagai “menentukan” bagaimana dan mengapa variable-variabel dan pernyataan hubungan dapat saling berhubungan.
Kata teori memiliki arti yang berbeda-beda pada bidang-bidang pengetahuan yang berbeda pula tergantung pada metodologi dan konteks diskusi. Secara umum, teori merupakan analisis hubungan antara fakta yang satu dengan fakta yang lain pada sekumpulan fakta-fakta.  Selain itu, berbeda dengan teorema, pernyataan teori umumnya hanya diterima secara "sementara" dan bukan merupakan pernyataan akhir yang konklusif. Hal ini mengindikasikan bahwa teori berasal dari penarikan kesimpulan yang memiliki potensi kesalahan, berbeda dengan penarikan kesimpulan pada pembuktian matematika. Sedangkan secara lebih spesifik di dalam ilmu sosial, terdapat pula teori sosial. Neuman mendefiniskan teori sosial adalah sebagai sebuah sistem dari keterkaitan abstraksi atau ide-ide yang meringkas dan mengorganisasikan pengetahuan tentang dunia sosial. Perlu diketahui bahwa teori berbeda dengan idiologi, seorang peneliti kadang-kadang bias dalam membedakan teori dan ideologi. Terdapat kesamaan di antara kedunya, tetapi jelas mereka berbeda.
Teori dapat merupakan bagian dari ideologi, tetapi ideologi bukan teori. Contohnya adalah Aleniasi manusia adalah sebuah teori yang diungkapakan oleh Karl Marx, tetapi Marxis atau Komunisme secara keseluruhan adalah sebuah ideologi. Dalam ilmu pengetahuan, teori dalam ilmu pengetahuan berarti model atau kerangka pikiran yang menjelaskan fenomena alami atau fenomena sosial tertentu. Teori dirumuskan, dikembangkan, dan dievaluasi menurut metode ilmiah. Teori juga merupakan suatu hipotesis yang telah terbukti kebenarannya. Manusia membangun teori untuk menjelaskan, meramalkan, dan menguasai fenomena tertentu (misalnya, benda-benda mati, kejadian-kejadian di alam, atau tingkah laku hewan). Sering kali, teori dipandang sebagai suatu model atas kenyataan (misalnya : apabila kucing mengeong berarti minta makan). Sebuah teori membentuk generalisasi atas banyak pengamatan dan terdiri atas kumpulan ide yang koheren dan saling berkaitan.
Istilah teoritis dapat digunakan untuk menjelaskan sesuatu yang diramalkan oleh suatu teori namun belum pernah terpengamatan. Sebagai contoh, sampai dengan akhir-akhir ini, lubang hitam dikategorikan sebagai teoritis karena diramalkan menurut teori relativitas umum tetapi belum pernah teramati di alam. Terdapat miskonsepsi yang menyatakan apabila sebuah teori ilmiah telah mendapatkan cukup bukti dan telah teruji oleh para peneliti lain tingkatannya akan menjadi hukum ilmiah. Hal ini tidaklah benar karena definisi hukum ilmiah dan teori ilmiah itu berbeda. Teori akan tetap menjadi teori, dan hukum akan tetap menjadi hukum.
Teori adalah serangkaian bagian atau variabel, definisi, dan dalil yang saling berhubungan yang menghadirkan sebuah pandangan sistematis mengenai fenomena dengan menentukan hubungan antar variabel, dengan menentukan hubungan antar variabel, dengan maksud menjelaskan fenomena alamiah.
Teori juga merupakan suatu hipotesis yang telah terbukti kebenarannya. Manusia membangun teori untuk menjelaskan, meramalkan, dan menguasai fenomena tertentu misalnya, benda-benda mati, kejadian-kejadian di alam, atau tingkah laku hewan. Sering kali, teori dipandang sebagai suatu model atas kenyataan. Misalnya : apabila kucing mengeong berarti minta makan.




*      Hubungan antara hipotesis dengan teori
Hipotesis ini merupakan suatu jenis proposisi yang dirumuskan sebagai jawaban tentatif atas suatu masalah dan kemudian diuji secara empiris. Sebagai suatu jenis proposisi, umumnya hipotesis menyatakan hubungan antara dua atau lebih variabel yang di dalamnya pernyataan-pernyataan hubungan tersebut telah diformulasikan dalam kerangka teoritis. Hipotesis ini, diturunkan, atau bersumber dari teori dan tinjauan literatur yang berhubungan dengan masalah yang akan diteliti. Oleh karena itu teori yang tepat akan menghasilkan hipotesis yang tepat untuk digunakan sebagai jawaban sementara atas masalah yang diteliti atau dipelajari dalam penelitian. Dalam penelitian kuantitatif peneliti menguji suatu teori. Untuk meguji teori tersebut, peneliti menguji hipotesis yang diturunkan dari teori. Teori adalah serangkaian bagian atau variabel, definisi, dan dalil yang saling berhubungan yang menghadirkan sebuah pandangan sistematis mengenai fenomena dengan menentukan hubungan antar variabel, dengan maksud menjelaskan fenomena alamiah (John W Creswell, Research Design: Qualitative & Quantitative Approach, (London: Sage, 1993) hal 120)
Sedangkan secara lebih spesifik di dalam ilmu sosial, terdapat pula teori sosial. Neuman mendefiniskan Teori Sosial adalah sebagai sebuah sistem dari keterkaitan abstraksi atau ide-ide yang meringkas dan mengorganisasikan pengetahuan tentang dunia sosial. (W.L Neuman, Social Research Methods: Qualitative & Quantitative Approach, (London: Sage, 2003).


B. Berpikir induktif
Induksi adalah cara mempelajari sesuatu yang bertolak dari hal-hal atau peristiwa khusus untuk menentukan hukum yang umum (Kamus Umum Bahasa Indonesia, hal 444 W.J.S.Poerwadarminta. Balai Pustaka 2006).
Induksi merupakan cara berpikir dimana ditarik suatu kesimpulan yang bersifat umum dari berbagai kasus yang bersifat individual. Penalaran secara induktif dimulai dengan mengemukakan pernyataan-pernyataan yang mempunyai ruang lingkup yang khas dan terbatas dalam menyusun argumentasi yang diakhiri dengan pernyataan yang bersifat umum (filsafat ilmu.hal 48 Jujun.S.Suriasumantri Pustaka Sinar Harapan. 2005).
Berpikir induktif adalah metode yang digunakan dalam berpikir dengan bertolak dari hal-hal khusus ke umum. Hukum yang disimpulkan difenomena yang diselidiki berlaku bagi fenomena sejenis yang belum diteliti. Generalisasi adalah bentuk dari metode berpikir induktif. (www.id.wikipedia.com). Jalan induksi mengambil jalan tengah, yakni di antara jalan yang memeriksa cuma satu bukti saja dan jalan yang menghitung lebih dari satu, tetapi boleh dihitung semuanya satu persatu. Induksi mengandaikan, bahwa karena beberapa (tiada semuanya) di antara bukti yang diperiksanya itu benar, maka sekalian bukti lain yang sekawan, sekelas dengan dia benar pula.
Menurut Suriasumantri (2001: 48), “ Induktif merupakan cara berpikir di mana ditarik suatu kesimpulan yang bersifat umum dari berbagai kasus yang bersifat individual.”

Contoh :
Kambing mempunyai mata, gajah mempunyai mata, kerbau mempunyai mata, dan harimau mempunyai mata. Dari kenyataan-kenyataan ini, kita dapat menarik kesimpulan yang bersifat umum, yaitu semua binatang yang berkaki empat mempunyai mata.
Jenis-jenis penalaran induktif antara lain :
1.      Generalisasi
 Generalisasi adalah proses penalaran yang bertolak dari fenomena individual menuju kesimpulan umum.Contoh Generalisasi :
v  Nikita Willy adalah bintang sinetron, dan ia berparas cantik.
v  Marshanda adalah bintang sinetron, dan ia berparas cantik.
 Generalisasi: Semua bintang sinetron berparas cantik.
 Pernyataan “semua bintang sinetron berparas cantik” hanya memiliki kebenaran probabilitas karena belum pernah diselidiki kebenarannya.
 Contoh kesalahannya:
 Omas juga bintang iklan, tetapi tidak berparas cantik.
2.      Analogi induktif
Analogi induktif, yaitu analogi yang disusun berdasarkan persamaan yang ada pada dua fenomena, kemudian ditarik kesimpulan bahwa apa yang ada pada fenomena pertama terjadi juga pada fenomena kedua. Analogi induktif merupakan suatu metode yang sangat bermanfaat untuk membuat suatu kesimpulan yang dapat diterima berdasarkan pada persamaan yang terbukti terdapat pada dua barang khusus yang diperbandingkan.
 Cara penarikan penalaran dengan membandingkan dua hal yang mempunyai sifat yang sama.
 Analogi mempunyai 4 fungsi,antara lain :
·         Membandingkan beberapa orang yang memiliki sifat kesamaan
·         Meramalkan kesaman
·         Menyingkapkan kekeliruan
·         klasifikasi
Contoh analogi :
 Demikian pula dengan manusia yang tidak berilmu dan tidak berperasaan, ia akan sombong dan garang. Oleh karena itu, kita sebagai manusia apabila diberi kepandaian dan kelebihan, bersikaplah seperti padi yang selalu merunduk.

3.  Analogi Deklaratif 
Analogi deklaratif merupakan metode untuk menjelaskan atau menegaskan sesuatu yang belum dikenal atau masih samar, dengan sesuatu yang sudah dikenal. Cara ini sangat bermanfaat karena ide-ide baru menjadi dikenal atau dapat diterima apabila dihubungkan dengan hal-hal yang sudah kita ketahui atau kita percayai.
contoh analogi deklaratif :
deklaratif untuk penyelenggaraan negara yang baik diperlukan sinergitas antara kepala negara dengan warga negaranya. Sebagaimana manusia, untuk mewujudkan perbuatan yang benar diperlukan sinergitas antara akal dan hati.
C. Berpikir deduktif
Deduksi berasal dari bahasa Inggris deduction yang berarti penarikan kesimpulan dari keadaan-keadaan yang umum, menemukan yang khusus dari yang umum, lawannya induksi (Kamus Umum Bahasa Indonesia hal 273 W.J.S.Poerwadarminta. Balai Pustaka 2006.
Deduksi adalah cara berpikir dimana dari pernyataan yang bersifat umum ditarik kesimpulan yang bersifat khusus. Penarikan kesimpulan secara deduktif biasanya mempergunakan pola berpikir yang dinamakan silogismus. Silogismus disusun dari dua buah pernyataan dan sebuah kesimpulan. (Filsafat Ilmu.hal 48-49 Jujun.S.Suriasumantri Pustaka Sinar Harapan. 2005)
Metode berpikir deduktif adalah metode berpikir yang menerapkan hal-hal yang umum terlebih dahulu untuk seterusnya dihubungkan dalam bagian-bagiannya yang khusus. (www.id.wikipedia.com).
Penalaran deduktif menggunakan bentuk bernalar deduksi. Deduksi yang berasal dari kata de dan ducere, yang berarti proses penyimpulan pengetahuan khusus dari pengetahuan yang lebih umum. Perihal khusus tersebut secara implisit terkandung dalam yang lebih umum. Maka, deduksi merupakan proses berpikir dari pengetahuan umum ke individual.
Selanjutnya menurut Suriasumantri (2001: 49), “ Penalaran deduktif adalah kegiatan berpikir yang sebaliknya dari penalaran induktif. Deduktif adalah cara berpikir di mana dari pernyataan yang bersifat umum ditarik suatu kesimpulan yang bersifat khusus.”


Contoh :
Semua manusia akan mati.
Si Polan adalah manusia.
Jadi Si Polan akan mati.
Salah satu karakteristik matematika adalah bersifat deduktif. Dalam pembelajaran matematika, pola pikir deduktif itu penting dan merupakan salah satu  tujuan yang bersifat formal, yang memberi tekanan pada penataan nalar. Meskipun pola pikir deduktif itu sangat penting, namun dalam pembelajaran matematika masih sangat diperlukan penggunaan pola pikir induktif. Menurut Soedjadi (2000: 45), “ Penyajian matematika perlu dimulai dari contoh-contoh, yaitu hal-hal yang khusus, selanjutnya secara bertahap menuju kepada pembentukan suatu kesimpulan yang bersifat umum. Kesimpulan itu dapat berupa definisi atau teorema.” Selanjutnya menurut Soedjadi (2000: 46), “ Bila kondisi kelas memungkinkan, kebenaran teorema dapat dibuktikan secara deduktif. Namun jika pembuktian dipandang berat, pola pikir deduktif dapat diperkenalkan melalui penggunaan definisi ataupun teorema.”
Penalaran deduktif adalah cara berpikir dengan berdasarkan suatu pernyataan dasar untuk menarik kesimpulan. Pernyataan tersebut merupakan premis, sedangkan kesimpulan merupakan implikasi pernyataan dasar tersebut. Artinya, apa yang dikemukakan dalam kesimpulan sudah tersirat dalam premisnya. Jadi, proses deduksi sebenarnya tidak menghasilkan suatu konsep baru, melainkan pernyataan atau kesimpulan yang muncul sebagai konsistensi premis-premisnya.

Contoh klasik dari penalaran deduktif:
·         Semua manusia pasti mati (premis mayor)
·         Sokrates adalah manusia (premis minor)
·         Sokrates pasti mati (kesimpulan)
Penalaran deduktif tergantung pada premisnya. Artinya, premis yang salah mungkin akan membawa kita kepada hasil yang salah dan premis yang tidak tepat juga akan menghasilkan kesimpulan yang tidak tepat. Alternatif dari penalaran deduktif adalah penalaran induktif.
Metode ini diawali dari pebentukan teori, hipotesis, definisi operasional, instrumen dan operasionalisasi. Dengan kata lain, untuk memahami suatu gejala terlebih dahulu harus memiliki konsep dan teori tentang gejala tersebut dan selanjutnya dilakukan penelitian di lapangan. Dengan demikian konteks penalaran deduktif tersebut, konsep dan teori merupakan kata kunci untuk memahami suatu gejala.
Macam-macam penarikan kesimpulan secara deduktif
Penarikan simpulan (konklusi) secara deduktif dapat dilakukan secara langsung dan dapat pula dilakukan secara tidak langsung.
1. Menarik Simpulan secara Langsung
Simpulan (konklusi) secara langsung ditarik dari satu premis. Sebaliknya, konklusi yang ditarik dari dua premis dosebut simpulan tak langsung.



Misalnya :
Semua S adalah P. (premis)
Sebagian P adalah S. (simpulan)
Contoh:
Semua ikan berdarah dingin. (premis)
Sebagian yang berdarah dingin adalah ikan. (simpulan)
Semua S adalah P. (premis)
Tidak satu pun S adalah tak-P. (simpulan)
Tidak satu pun tak-P adalah S. (simpulan)
Contoh:
Semua gajah adalah berbelai. (premis)
Tidak satu pun gajah adalah takberbelai. (simpulan)
Tidak satu pun yang takberbelai adalah gajah. (simpulan)

2. Menarik Simpulan secara Tidak Langsung
Pernalaran deduksi yang berupa penarikan simpulan secara tidak langsung memrlukan dua premis sebagai data. Dari dua premis ini akan dihasilkjan sebuah simpulan. Premis yang pertama adalah premis yang bersifat umum dan premis yang kedua adalah premis yang bersifat khusus.Untuk menarik simpulan secara tidak langsung ini, kita memerlukan suatu premis (pernyataan dasar) yang bersifat pengetahuan yang semua orang sudah tahu, umpamanya setiap manusia akan mati, semua ikan berdarah dingin, semua sarjana adalah lulusan perguruan tinggi, atau semua pohon kelapa adalah serabut.
BAB IV
PENUTUP

KESIMPULAN

Penalaran ilmiah pada hakikatnya merupakan gabungan dari penalaran deduktif dan induktif. Dimana lebih lanjut penalaran deduktif terkait dengan rasionalisme dan penalaran induktif dengan empirisme. Secara rasional ilmu menyusun pengetahuannya secara konsisten dan kumulatif, sedangkan secara empiris ilmu memisahkan antara pengetahuan yang sesuai fakta dengan yang tidak. Karena itu sebelum teruji kebenarannya secara empiris semua penjelasan rasional yang diajukan statusnya hanyalah bersifat sementara, Penjelasan sementara ini biasanya disebut hipotesis.
Hipotesis ini pada dasarnya disusun secara deduktif dengan mengambil premis-premis dari pengetahuan ilmiah yang sudah diketahui sebelumnya, kemudian pada tahap pengujian hipotesis proses induksi mulai memegang peranan di mana dikumpulkan fakta-fakta empiris untuk menilai apakah suatu hipotesis di dukung fakta atau tidak. Sehingga kemudian hipotesis tersebut dapat diterima atau ditolak. Maka dapat disimpulkan bahwa nalar deduktif dan nalar induktif diperlukan dalam proses pencarian pengetahuan yang benar.





DAFTAR PUSTAKA


Jujun S. Suriasumantri. Ilmu dalam Persfektif. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2005
Jujun S, Suriasumantri, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer. Pustakan Sinar Harapan, Jakarta, 2003
Louis O. Kattsof. Pengantar Filsafat. Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta,2004
Mark Rowlands. Menikmati Filsafat melalui film science-fiction. Mizan, Bandung, 2004
Stephen Law, Filsafat Itu Heboh. Teraju, Bandung, 2003
Tan Malaka, MADILOG. Pusat Data Indikator, Jakarta, 1999
Pustaka web site. www.id.wikipedia.com
Abraham, F.M. 1982. Modern Sociological Theory, An Introduction, Oxford University Press. Delhi.
 Agus, B.1999. Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial, PT.Gema Insani Press. Jakarta.
 Agustian, Ary G. 2005. Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosional dan Spiritual (ESQ). Penerbit ARGA. Jakarta.
 Alvesson, M. and Skoldberg. 2000. Reflexive Methodology. New Vistas for Qualitative Research, SAGE Publications, Inc. London.
 Ankersmit. 1987. Denken over geschiedenis. Een overzicht van moderne geschiedfilosofische opvattingen. Dick Hartoko (penerjemah). Refleksi tentang Sejarah. Pendapat-pendapat Modern tentang Filsafat Sejarah. 1987.PT. Gramdeia. Jakarta.
 Bakri, M. (ed). 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif, Tinjauan Teoritis dan Praktis, Lemlit Iniversitas Islam Malang.